REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah
Potensi radikalisme muncul seiring membludaknya imigran baru.
Minoritas yang cinta damai. Ungkapan ini tak berlebihan bila disematkan pada komunitas minoritas Muslim di Estonia.
Konstitusi negera bekas jajahan Uni Soviet itu memang menjamin kebebasan beragama. Pemerintah menerapkan pemisahan agama dan negara.
Mengutip Wikipedia, Dentsu Communication Institute Inc menyebutkan Estonia merupakan negara paling tidak religius kedua di dunia.
Sebanyak 75,7 persen populasi mengaku tidak beragama. Sedangkan, di peringkat pertama merupakan Cina dengan 93 persen penduduknya menyatakan diri ateis.
Meski demikian, di tengah mayoritas penganut Lutheranisme Injili, sebanyak 1.387 Muslim bertahan dengan akidah mereka, sesuai dengan sensus pada 2000. Muslim pertama di Estonia sebagian besar Tatar Sunni dan Syiah Azeri.
Mereka adalah sekelompok Muslim yang telah dibebaskan dari dinas militer di Angkatan Darat Rusia setelah Estonia dan Livonia ditaklukkan Kekaisaran Rusia pada 1721. Mayoritas Muslim berimigrasi ke Estonia selama pendudukan Soviet di Estonia antara tahun 1940 dan 1991 .
Meski minoritas, Muslim di kawasan ini secara umum tetap cinta damai, homogen, dan terintegrasi dengan baik ke dalam masyarakat Estonia.
Imigrasi besar-besaran penganut Muslim ke Estonia pada masa awal telah menyebabkan akulturasi budaya dan entitas yang sangat apik.
Kedatangan para pengungsi disambut dengan tangan terbuka. Para penganut Nasrani bertoleransi terhadap umat agama lain. Apalagi, mereka mengalami penderitaan. Kedua pemeluk agama hidup berdampingan secara damai.
Eksistensi umat pun diakui, misalnya diperbolehkan memiliki lahan pemakaman khusus Muslim. Tak hanya itu, agama Islam juga tercantum sebagai agama resmi dalam konstitusi sejak tahun 1928.
Selain itu, mereka mendapat pekerjaan cukup baik di berbagai bidang profesi. Perdagangan berkembang pesat, demikian pula sektor pendidikan, banyak pelajar Muslim yang menimba ilmu di Universitas Tartu.
Polisi Keamanan Nasional Estonia menyatakan dalam laporan tahunan 2012, toleransi yang mucul dari mayoritas dan minoritas itu, memberikan dampak yang positif bagi pola keagamaan umat Islam itu sendiri.
Menurut Direktur Jenderal Polisi Keamanan Reaivo Aeg, tidak ada kecenderungan ke arah fundamentalisme dari komunitas Muslim di Estonia.
Laporan itu juga menyebutkan, jumlah anggota komunitas Muslim yang berasal dari imigran belakangan kian tumbuh perlahan-lahan.
Fenomena tersebut di satu sisi memang tidak masalah bila disertai dengan kemampuan beradaptasi dari para pendatang itu.
Sayangnya, katanya, para imigran baru tersebut cenderung mengikuti praktik ritual yang terkesan rigid dan ketat serta potensial terhadap paham radikal dan fundamental, seperti paham Salafi.
Gejala ini tentunya bisa menjadi ancaman bagi masa depan komunitas Muslim asli yang homogen dan cinta damai.
Tak menutup kemungkinan bila geliat ideologi itu menyebar, bisa memecah Muslim Estonia menjadi faksi-faksi yang saling berseberangan, bahkan bertikai. “Potensi itu tak bisa dilihat sebelah mata,” ujarnya.
Reaivo menambahkan, munculnya potensi radikalisme itu juga dipicu oleh akses beragam informasi di dunia maya.
Tak jarang, sejumlah situs memberikan penafsiran yang salah terhadap Islam dan mempropagandakan kekerasan.
Ia pun memperingatkan, bila hal itu tak segera di atasi maka ke depan akan berdampak pada meluasnya radikalisme di tengah-tengah Muslim Estonia yang cinta damai.