REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bambang Noroyono, Andik Ikbal
Masyarakat, khususnya umat Islam, sebagai konsumen perlu mengetahui kandungan kimia suatu obat-obatan.
JAKARTA -- Permintaan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) ditunda, tak digubris DPR.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU JPH di Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menegaskan, pembahasan RUU halal tetap sesuai jadwal.
Ledia mengatakan, pembahasan RUU JPH harus tuntas pada periode sekarang. Kita (Panja) tetap, agar RUU itu (JPH) diundangkan secepatnya, maksimal 30 September, ujarnya kepada Republika, Sabtu (1/3).
Komisi VIII DPR optimistis pembahasan RUU JPH bisa selesai tahun ini, mengingat masa bakti pemerintahan dan DPR tuntas sebelum tutup tahun.
Menurut dia, RUU JPH bertujuan untuk memberi perlindungan kepada masyarakat atas produk-produk asupan, termasuk produk kosmetik dan obat-obatan. Ledia menambahkan, RUU JPH merupakan kelanjutan dari UU Perlindungan Konsumen.
Perlu bagi negara mengatur agar semua jenis produk asupan, memberi jaminan halal. Hal tersebut, bisa dilakukan dengan memberi keterangan atas bahan utama dan kandungan dari setiap produk asupan yang dipasarkan, tutur Ledia.
Sikap Menkes yang meminta agar pembahasan RUU JPH ditunda mendapat reaksi keras dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Lembaga itu menilai sikap Menkes tersebut telah melanggar hak asasi konsumen. Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim menegaskan, masyarakat, khususnya umat Islam, sebagai konsumen perlu mengetahui kandungan kimia suatu obat-obatan.
Jika informasinya ditutupi hanya karena rumit mengategorikan produk tersebut halal atau tidak, itu sama saja mengorbankan hak asasi konsumen.
“Saya paham kalau prosesnya rumit. Pangan pun tidak kalah rumit, terdapat banyak bahan kimia di dalamnya. Namun, dengan pengetahuan, kita bisa menyelesaikan persoalan itu,” kata Lukmanul.
LPPOM MUI, kata Lukmanul Hakim, berencana membangun komunikasi dengan Kemenkes untuk menyatukan pandangan soal urgensi halal pada obat.
Lukmanul HAKIM menilai, usulan Menkes untuk tidak memasukkan produk obat-obatan dalam klausul RUU JPH sangat bertolak belakang. Alasannya, dari 30 ribu item obat yang diproduksi 206 perusahaan, baru 34 produk yang memiliki sertifikat halal.
“Artinya, hanya 0,015 persen yang bersertifikat. Pemerintah seolah menjadikan obat ini adalah suatu hal yang darurat sehingga halal atau tidak bukan menjadi masalah,” ujar dia. Pandangan itu dinilainya keliru. Menurutnya, hukum penanganan darurat harus jelas dan tidak bisa sembarangan.
Wakil Sekjen MUI Tengku Zulkarnaen mengecam sikap Kementerian Kesehatan yang meminta pembahasaan RUU JPH ditunda. Ia menilai Menkes tidak pro perlindungan konsumen terhadap informasi bahan kimia di dalam obat-obatan.
“Menkes ini seperti orang anti-Islam. Seperti pembagian kondom, dan sekarang menolak sertifikasi halal obat dan vaksin,” ujar Zulkarnaen.
Padahal, kata Zulkarnaen perusahaan farmasi saja belum tentu menolak jika produknya harus melalui proses sertifikasi halal.
''Mengapa justru dia (Menkes) yang keberatan? Kami mempertanyakan komitmen Kemenkes dalam menerbitkan produk obat-obatan yang aman dikonsumsi masyarakat,'' tegas Zulkarnaen.
Menteri Agama Suryadharma Ali mengakui hingga saat ini belum ada titik temu tentang lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal. Kewenangan itu masih diperebutkan antara Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Belum ada titik temu,” kata Suryadharma, di kompleks Istana Kepresidenan, Sabtu (1/3). Ia mengatakan, sampai saat ini, RUU JPH belum juga disahkan. Karena itu, aturan untuk sertifikasi halal pun belum benar-benar bisa diterapkan, termasuk lembaga yang berhak dan berwenang untuk itu.
“Sekarang kan belum ada UU-nya. Sekarang MUI yang melaksanakan. Ini berjalan dulu saja, apalagi sudah banyak produk sertifikasi halal yang telah dikeluarkan MUI,” katanya.
Saat ini, kata dia, sertifikasi halal dilakukan oleh MUI. Tetapi, tambah Suryadharma, pihaknya berpandangan sertifikasi tersebut seharusnya diserahkan kepada pemerintah. Dengan alasan, sifat sertifikasi tersebut tidak berupa kewajiban tetapi sukarela.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia meminta agar RUU JPH mengatur pola penerapan yang bijak. Ketentuan sertifikasi halal bisa bersifat wajib atau sukarela tergantung pada objek dan wilayahnya.
Pengurus YLKI Tulus Abadi mengatakan, objek yang harus diwajibkan memiliki sertifikasi halal misalnya seperti rumah makan waralaba dan restoran di hotel. Sedangkan untuk wilayah, aturan wajib sertifikasi ditentukan bagi daerah dengan mayoritas non-Muslim.
“Seperti di Bali, banyak wisatawan lokal yang mereka seorang Muslim dan butuh kepastian halal atas produk makanan yang mereka konsumsi,” kata Tulus.
Menurut dia, mewajibkan aturan halal bagi seluruh objek dan wilayah akan kontraproduktif terhadap dunia usaha dan perekonomian.