Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Apakah lailah dalam arti fakta, yaitu menanti terbenamnya matahari dan menunggu larutnya malam atau lailah dalam arti simbol, yaitu terwujudnya suasana lailiyyah di dalam jiwa hamba-Nya berupa keheningan, kepasrahan, keakraban, kedamaian, kerinduan, cinta kasih amat mendalam, dan kekhusyukan.
Jika merujuk kepada makna kedua (simbolis), tidak mesti harus menunggu terbenamnya matahari dan larutnya malam. Bukankah suasana hening, pasrah, akrab, damai, rindu, keheningan, kepasrahan, keakraban, kedamaian, cinta kasih, dan khusyuk bisa muncul pada siang hari?
Bukankah tidak ada jaminan jika suasana batin seperti itu mesti muncul pada malam hari? Betapa banyak orang merasakan amarah dan dendam kesumat (nahariyyah) pada malam hari dan betapa banyak juga orang merasakan kedamaian, kepasrahan, kerinduan, dan kekhusyukan (lailiyyah) pada siang hari.
Lagi pula, jika lailatul qadar acuannya adalah malam, pertanyaan berikut akan muncul. Bagaimana sekiranya lailatul qadar turun bertepatan pukul 02.00 dini hari waktu Indonesia, sementara belahan bumi lain, seperti Amerika Serikat, berada pada posisi pukul 14.00 siang?
Bagaimana jika lailatul qadar turun pukul 02.00 waktu Saudi Arabia, berarti di Indonesia keburu pagi, tidak lagi malam. Padahal, kita semua tahu bahwa waktu turunnya malam seribu bulan itu hanya sekejap (lailan), yakni sebagian kecil dari malam (qith’un min al-lail).
Sudah pasti Allah SWT Mahaadil, tidak membeda-bedakan antara hamba-Nya yang taat di berbagai tempat, baik di Indonesia, Saudi Arabia, maupun di AS.
Bagi para sufi, mengejar peristiwa lailatul qadar tidak terlalu penting karena bagaimanapun lailatul qadar hanya bagian dari makhluk, sama dengan surga yang juga makhluk.
Yang paling penting bagi mereka ialah mencari Tuhan Sang Pencipta lailatul qadar dan surga. Apakah masih perlu lailatul qadar dan surga bila telah berada di dalam ‘pelukan’ Sang Pencipta segalanya?