Oleh: Nashih Nashrullah
Pada 1955, ketika berusia 13 tahun, Qusyairi melanjutkan ke jenjang menengah pertama di lembaga yang sama.
Ia mulai menimba ilmu dari sejumlah guru terkemuka. Di antaranya, Syekh al-Fadhil Sya'rani Arif, al-Fadhil Salim Ma'ruf, dan Syekh Salman Jalil, pakar ilmu falak yang unggul pada masa itu. Ia juga pernah berguru ke musnid ad-dunya, Syekh Yasin bin Isa Padangi.
Sosok yang berperan membentuk kerangka keilmuan sang tokoh adalah Syekh Seman Mulya, yang tak lain adalah pamannya sendiri. Guru Semanlah yang berjasa mengarahkan Guru Ijai untuk menimba ilmu ke para pakarnya secara langsung.
Guru Seman bahkan mengantar sendiri keponakannya itu kepada ulama spesialis ilmu tertentu. Hal ini pernah dilakukan saat Guru Ijai belajar ke Syekh Anang Sya'rani yang mumpuni dalam bidang tafsir dan hadis.
Di bidang tasawuf, ada dua nama ulama yang menjadi 'kiblat' berguru, yaitu Syekh Syarwani Abdan Bangil dan Sayid Muhammad Amin Kutbi. Proses transfer ilmu di ranah olah spiritual itu berjalan mulus. Ini tak terlepas dari modal kejernihan hati yang dimiliki oleh sang ulama.
Pada usia 10 tahun, bahkan ia telah memiliki keutamaan berupa penglihatan tanpa batas kasyaf hissi. Atas seizin Allah, ia mampu melihat dan mendengar di dalam atau di luar dinding.
Kisah tentang pertobatan seorang perampok tersohor seantero Kalimantan di hadapan Guru Ijai, menguatkan tentang ketajaman mata hatinya. Sang perampok mengakui dan sadar atas kesalahannya di depan Guru Ijai dan akhirnya meminta untuk dibimbing ke jalan yang lurus.
Pada 10 Agustus 2005, sang tokoh meninggal dunia dalam usia 63 tahun. Ia meninggalkan warisan berharga dalam dunia olah spiritual. Beberapa karya tulisnya bisa dibaca hingga saat ini, seperti Risalah Mubarakah, Manaqib asy-Syekh as-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiri al-Hasani as-Samman al-Madani, ar-Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah, dan Nubdzatun fi Manaqib al-Imam al-Masyhur bi al-Ustadz al-A'zham Muhammad bin Ali Ba'alawy.