Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam tradisi Indonesia, semangat Idul Fitri, antara lain, mudik kembali ke kampung kelahiran, tempat kita lahir atau berasal.
Di sana kita melakukan silaturahim dengan para keluarga. Mungkin, termasuk ziarah ke kuburan orang-orang terdekat kita, seperti orang tua dan sanak keluarga.
Kita juga bisa me-refresh dan me-rewind memori alam bawah sadar kita melalui sentuhan rasa yang lahir setelah kembali menyaksikan benda-benda monumental, seperti menengok atap rumah yang pernah menaungi kita saat kecil bersama orang tua dan seluruh saudara.
Kita juga bisa menyaksikan sekolah dasar dan masjid/mushala tempat pertama kali kita mulai belajar formal dan mengaji. Mungkin, masih ada lagi kenangan lain bisa muncul saat kita menyaksikan kampung halaman.
Misalnya, di dinding tengah rumah masih terpampan foto hitam putih saat kita masih kecil atau membuka-buka album keluarga yang sebagian orang di dalamnya sudah mendahului kita.
Sekaligus, juga bisa mencicipi kembali masakan dan jajanan yang pernah mengeraskan batok kepala kita saat masih kecil. Kolektif memori nostalgia bisa menjadi shock therapy buat kita untuk mengevaluasi jalan hidup yang selama ini kita pilih.
Mungkin, sebagian aktivitas kita di kota ada di antaranya yang tidak sejalan dengan pesan luhur orang tua dan kakek nenek yang dulu mewasiatkan untuk hidup luhur di jalan yang benar.
Syukur-syukur, kita bisa memugar sejumlah bangunan monumental secara emosional di kampung halaman kita, misalnya, mengganti tegel tua masjid atau mushala yang pertama kali kita tempati sujud dan mengenal Tuhan.
Atau, mungkin mengganti genteng rumah tempat yang pernah merekam kelahiran kita. Kesemuanya itu bisa memberikan kesegaran dan ketenangan hidup tersendiri setelah sekian lami kita hidup di tengah ketegangan kota.