REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Hukum Nasional (KHN) meminta pemerintah dan DPR mencabut delik korupsi dalam RUU KUHP. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa sekarang ini hanya mampu diberantas KPK melalui UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) JE Sahetapy mengatakan, KPK dibentuk karena kepolisian dan kejaksaan tidak lagi mendapat kepercayaan publik dalam memberantas korupsi. Masuknya delik korupsi dalam KUHP sama saja menutup peluang kerja KPK.
"Kalau memasukan delik korupsi pada KUHP pertanyaannya adalah apakah kepolisian dan kejaksaan sudah bisa dipercaya ? jadi beri kesempatan kepada KPK untuk bekerja," kata Sahetapy dalam dialog KHN di Jakarta, Rabu (12/3).
Menurutnya, semangat pemerintah bersama DPR melakukan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum pidana sah-sah saja. Namun, bukan berarti seluruh tindak pidana disusun dalam satu buku. Dan delik korupsi dinilai tak layak masuk dalam RUU KUHP.
Kodifikasi adalah menghimpun semua peraturan yang ada dalam satu buku yakni KUHP. Dia menambahkan, tidak menutup kemungkinan juga, ada peraturan yang dibentuk di luar rumusan peraturan tersebut.
"Sikap KPK yang keberatan terhadap rancangan itu sangat beralasan. Kalau nanti itu diundangkan, eksistensi KPK akan terancam," ujar dia.
Pakar hukum Luhut Pangaribuan membantah jika eksistensi KPK dinilai terancam. Alasannya, 15 pasal korupsi dalam RUU KUHP hanya mengatur substansi, tidak menyentuh penegakan hukum. Lagipula, Ini produk nasional hukum yang konsepnya dan demokratisasi.
Persoalan pro dan kontra atas RUU KHUP yang dinilai melemahkan KPK, kata dia, disebabkan, karena pemberantasan korupsi lebih kental unsur politik ketimbang penegakan hukumnya. Pihaknya juga menyoroti sikap KPK yang terkesan menolak rancangan peraturan tersebut.
"Jangan menghardik seperti ini tetapi sampaikan saja dengan membuat daftar inventarisasi masalah, kalau RUU ini tidak diundangkan karena emosi maka kita rugi besar," ujar dia.