Oleh: Hafidz Muftisany
Jika suami tidak memberikan nafkah secara penuh, seorang istri boleh mengambil harta suami sesuai kadar kebutuhan istri dan anak-anak.
Keluarga dibentuk atas dasar keimanan. Islam telah mengatur peran dan tanggung jawab masing-masing di dalam keluarga. Suami dan istri memiliki peran yang saling melengkapi.
Jika suami istri mendudukkan posisi sesuai porsi masing-masing, kehidupan keluarga akan berjalan harmonis. Setiap masalah yang datang bisa diselesaikan dengan baik dan tuntas.
Salah satu kewajiban suami, yakni memberi nafkah kepada keluarganya. Baik nafkah lahir berupa materi dan nafkah batin. Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 233 berfirman, “…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan sesuai kadar kesanggupanya…”
Dalam ayat lain Allah berfirman “...dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS an-Nisaa [4]:34).
Keutamaan suami yang menafkahi keluarganya juga sangat besar. Dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap istrinya.” Dalam hadis lain riwayat Muslim juga disebutkan satu dinar untuk nafkah pada keluarga jauh lebih baik dibanding satu dinar untuk jihad, sedekah, dan memerdekakan budak.
Syekh Yusuf Qaradhawi dalam Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah menyayangkan sikap kikir seorang suami dalam menafkahi keluarganya. Syekh Qaradhawi menulis seorang suami tak boleh bersikap kikir ataupun berlebihan dalam memberi nafkah. Hendaknya memberi nafakah sesuai kebutuhan dan kemampuan.
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebut nafkah seorang suami haruslah sedang. Tidak kikir, tidak pula israf (berlebihan). Sesuai dengan firman Allah SWT. “...Makanlah dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan...” (QS al-Araf [7]: 31).