REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pemilu dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), Said Salahuddin mengatakan kritik Fahri Hamzah melalui Twitternya kepada PDI Perjuangan (PDI-P) dinilai bermanfaat bagi pemilih sepanjang dilengkapi dengan data dan fakta serta dapat dipertanggungjawabkan. "Kritik yang disampaikan haruslah disertai dengan data dan fakta," ujar Said Salahuddin di Jakarta, Rabu (26/3).
Menurut dia, apabila kritik yang disampaikan Fahri tersebut benar dan dilengkapi data dan fakta maka dapat bermanfaat bagi pemilih dalam Pemilu 2014 mendatang. Pemilih betul-betul meneliti dan mengetahui rekam jejak masing-masing parpol atau capres.
Dengan mengetahui lebih awal rekam jejak calon, maka pemilih bisa menghindari untuk memilih calon yang bermasalah, apalagi jika dia adalah seorang calon presiden. "Sepanjang apa yang disampaikan kepada publik adalah suatu fakta, itu bisa bermanfaat untuk menjadi informasi tambahan bagi pemilih. Apa pun yang berupa fakta, dan bukan dugaan, apalagi fitnah, itu tidak apa-apa diinformasikan," paparnya.
Ia mengatakan berdasarkan kritik tersebut pemilih dapat mengindentifikasi perbedaan-perbedaan di antara parpol atau para capres guna dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk memilih. Menurut dia, sepanjang kritik itu dapat dipertanggungjawabkan maka tidak bisa dikatakan bahwa parpol atau calon presiden yang melempar kritik tersebut telah melakukan black campaign terhadap pesaing politiknya.
"Jika sebelum Pemilu ada temuan atau beredar suatu informasi tentang rekam jejak calon yang menunjukkan kebobrokan dari calon tersebut, itu justru bermanfaat bagi masyarakat," kata dia. Ia mengutarakan kritik itu adalah ciri negara demokrasi, sehingga tidak boleh dibatasi apalagi dilarang-larang. Yang tidak boleh dilakukan itu kalau sudah menghina dan menghasut.
Sebelumnya, Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah mengeluarkan tujuh pernyatan di akun Twitternya yang menyindir PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri saat menjadi Presiden RI. Sindiran itu antara lain menyangkut penjualan satelit negara kepada ke Singapura, pennjualan aset negara yang dikelola BPPN dengan murah ke asing, menjual kapal tanker VLCC milik Pertamina lalu memaksa Pertamina menyewa sewa kapal VLCC dengan mahal.