REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Kekalifahan terakhir umat Islam dipimpin Turki. Sebagai negeri adidaya di masanya, Turki Ustmani telah memberikan pengaruh besar.
Tidak hanya menyoal teknologi, budaya tetapi juga penduduk. Itu bisa dilihat dari banyaknya komunitas imigran asal Turki yang menetap di Eropa.
Di Eropa Barat misalnya, 2.3 juta imigran Turki menetap di jerman, 380.000 jiwa di Belanda dan Prancis, 210.000 jiwa di Inggris, dan 100.000 jiwa di Belgia. Di Eropa Timur, mayoritas imigran Turki menetap di Bulgaria dengan populasi 1.5 juta jiwa. Sisanya, sekitar 500 ribu jiwa menyebar di Rumania, Hongaria, Austria dan Yunani.
Seperti dikutip muslimvillage, Kamis (3/4), diaspora Turki ini yang kemudian menjadi senjata bagi pemerintah Republik Turki sebagai pewaris Ustmani untuk mendorong masuknya mereka ke dalam keanggotaan Uni Eropa. Proses itu memang tidak mudah.
Persoalan identitas memang menjadi kendala. Turki semasa Attaturk menghilangkan simbol-simbol keislamannya. Namun, identitas itu sebenarnya tidak hilang. Di akhir kisah Turki Ustmani, perkembangan Islam di wilayah-wilayah bekas imperium Ustmani dijaga oleh kalangan Sufisme. Melalui mereka, identitas keislaman Turki dijaga dari rongrongan sekularitas rezim Attaturk.
Mereka mungkin diasingkan, namun mereka menjaga akar rumput dari kebijakan anti-Islam yang dilakukan Attaturk. Melalui ulama sufi ternama, Suleymanis, penjagaan identitas Islam dilakukan dengan membangun benteng keislaman melalui pengetahuan di sekolah dan pusat kebudayaan.
Harus diakui tidak mudah bagi warga Turki pro-Ustmani beradaptasi dengan rezim sekular. Yang menarik, ketika terdesak, mereka justru memilih Eropa ketimbang negara-negara Arab. Pengamat berpendapat mereka memilih Eropa, karena sebagai pewaris Ustmani, warga Turki lebih pantas memimpin orang-orang Arab. Alasan lain, depresi ekonomi Turki ketika itu tentu menyulitkan mereka untuk bertahan.