REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn) Roesmanhadi mendesak Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Dwi Prayitno menuntaskan kasus penyerobotan lahan tanah yang disengketakan antara PT Mahkota Real Estate (MRE) dengan PT Tabungan Asuransi Pensiun (Taspen).
"Kasus ini dilaporkan sejak 2009 tapi tidak ditangani Polda Metro Jaya secara profesional," kata Roesmanhadi yang menjadi kuasa hukum PT MRE di Jakarta, Minggu.
Roesmanhadi mengatakan orang yang diduga suruhan dari anak perusahaan PT Taspen Persero, yakni PT Arthaloka Indonesia telah menduduki lahan milik PT MRE seluas 16.600 meter persegi berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman Kavling 2 Jakarta Pusat.
Saat ini, penyidik Polres Metro Jakarta Pusat telah menetapkan 19 orang tersangka terkait penyerobotan lahan tanah dengan cara mencabut papan nama milik PT MRE tersebut.
Roesmanhadi meminta penyidik kepolisian tidak hanya menetapkan 19 orang tersangka tersebut, namun polisi harus menyeret orang yang menjadi "otak" intelektual yang diduga menyuruh menempati lahan tersebut.
Roesmanhadi menyebutkan pihaknya telah bertemu dengan Kapolda Metro Jaya guna membahas kelanjutan proses penyelidikan kasus tersebut.
"Kapolda Metro Jaya berjanji akan gelar perkara dalam waktu dekat di Mabes Polri," ujarnya.
Roesmanhadi menjelaskan kasus ini berawal dari gugatan perdata PT MRE terkait dugaan penguasaan lahan seluas 16.600 meter persegi yang dilakukan PT Taspen dan PT Arthaloka.
Kejadian berawal saat PT MRE sebagai pemilik lahan seluas 3,3 hektare bekerja sama dengan PT Taspen dalam pembangunan gedung bertingkat sesuai Akta Nomor 52 Tahun 1972.
"PT MRE menjual sebagian lahannya seluas 1 hektare kepada PT Taspen," ujar Roesmanhadi seraya menambahkan sisa lahan 2,3 hektar digunakan PT MRE.
Pada perkembangan selanjutnya, PT Taspen melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan dua pimpinan PT MRE, Widodo Sukarno dan Rudy Pamaputera pada 1986.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan MA memvonis Widodo dan Rudy bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama.
Kemudian, pengadilan menyita lahan tanah 2,3 hektare milik PT MRE yang dikelola PT Arthaloka sebagai anak perusahaan Taspen.
Namun, PT Taspen melalui PT Arthaloka mengajukan permohonan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 25/ Karet Tengsin tertanggal 31 Maret 1992 atas lahan 2,3 hektare milik PT MRE tersebut.
PT MRE mengajukan gugatan perdata terhadap kepemilikan lahan yang dikuasai PT Taspen dan Arthaloka tersebut ke pengadilan.
Pada putusan Peninjauan Kembali (PK) MA Nomor 472/PK/PDT/2000 tertanggal 28 Juni 2002 menyatakan tanah seluas 16.600 meter persegi di Jalan Sudirman Kav 2 Jakarta Pusat merupakan milik PT MRE.
"Putusan MA juga menganulir Sertifikat HGB yang dikantongi PT Arthaloka dan memerintahkan pengosongan lahan seluas 16.600 meter persegi tersebut," ungkap Roesmanhadi.
Pada perkembangan selanjutnya, PT Arthalola melalui Kementerian Keuangan melakukan upaya perlawanan hukum untuk menggagalkan eksekusi lahan tersebut.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerbitkan Surat Nomor PTJ.PDT/555.1170/2003 perihal petunjuk/perlindungan hukum atas pelaksanaan eksekusi lahan.
"Sehingga proses eksekusi lahan gagal dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan lahan tersebut aset negara," tutur Roesmanhadi.
Roesmanhadi menganggap putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta soal perlindungan hukum hanya menganulir penetapan eksekusi dari PN Jakarta Pusat, namun tidak menggagalkan putusan MA Nomor PK/472/PK/PDT/2000.