Oleh: Ani Nursalikah
Kericuhan di Baghdad
Abu al-Futuh al-Ghazali, saudara Imam al-Ghazali, memberi perkuliahan tentang dakwah di Perguruan Tinggi Tajiyah yang bermazhab Syafi’i. Ia pun mengajar perkuliahan sejenis di ribath (padepokan sufi) di Bahruz.
Ia juga diundang untuk menyampaikan ceramah di Istana Sultan Mahmud dari Bani Saljuk. Untuk ceramahnya itu, ia memperoleh honor 1.000 dinar.
Sepulang dari istana, setelah berpamitan kepada Sultan, ia langsung menuju kendaraannya, seekor kuda berdarah murni yang didandani dengan atribut keprajuritan yang megah. Sultan merasa takjub, tapi membiarkannya melanjutkan perjalanan.
Ceramah-ceramah al-Abbadi dan Abu al-Futuh tidak memicu munculnya kericuhan di Baghdad seperti para pendahulunya.
Barangkali kericuhan terakhir yang terjadi adalah yang dipicu anak pertama al-Abbadi, Abu Manshur al-Abbadi. Seperti ayahnya, ia pun memiliki jabatan akademis di Perguruan Tinggi Nizamiyah sebagai guru besar tamu.
Keributan terjadi ketika pada 546 H/1151-1152 M, al-Abbadi bersikukuh menyampaikan ceramah di Masjid al-Manshur yang merupakan benteng kaum Tradisionalis. Ia mesti dikawal pasukan penguasa Bani Hasyim yang melindunginya dari pedang terhunus.
Sejak awal ceramah, kata-katanya telah memunculkan kegaduhan di antara para pendengar meskipun bisa segera diredakan. Hanya sebentar ia berceramah di sana.
Kemudian, al-Abbadi buru-buru pergi dengan pengawal. Para saksi menambahkan, ia tidak sadar karena ketakutan. Kegaduhan itu muncul mungkin disebabkan status al-Abbadi sebagai penganut Mazhab Syafi’i yang berpaham Asyariyah.
Ibn al-Jawzi menyampaikan salah satu judul bagian yang hilang dari Catatan Harian karya Ibn Aqil. Uraian itu manyajikan gambaran penting mengenai penggunaan keahlian berceramah oleh kaum Rasionalis dalam propagandanya menentang kaum Tradisionalis di Baghdad.
Sambil menyebarkan doktrin Asyariyah, kaum Rasionalis memfitnah kaum Tradisionalis yang bermazhab Hanbali dengan tuduhan telah mengajarkan ajaran yang melecehkan.