REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO-- Kabinet Jepang menyetujui kebijakan untuk mengembalikan energi nuklir yang ada di Fukushima pada Jumat (11/4). Kebijakan pembangkitan energi nuklir ini akan dimulai secara bertahap. Langkah ini sempat mengkhawatirkan sejumlah masyarakat karena trauma terhadap bencana bocornya nuklir Fukushima yang terjadi 2011 lalu.
Kebijakan ini dinilai cukup terlambat oleh sejumlah pihak yang mengelola industri nuklir di Jepang. Pasalnya, sebelum kebijakan diberlakukan mereka telah menghabiskan sekitar 16 miliar dolar AS untuk biaya perbaikan PLTN yang rusak di Fukushima pasca bencana Tsunami 2011 lalu.
Namun, pengembalian energi nuklir melalui perbaikan PLTN yang rusak mungkin tidak akan dilakukan secara maksimal. Sebanyak 48 reaktor nuklir yang rusak akan ditutup karena mahalnya biaya perbaikan.
Pemerintah Jepang mengatakan hal ini membuat negaranya harus bergantung pada sumber daya energi lainnya seperti batubara dan air. "Jelas kami akan mengurangi ketergantungan pada tenaga nuklir dengan berbagai upaya yang ada," ujar Toshimitsu Motegi, Menteri Perindustrian Jepang pada Jumat (11/4).
Ia mengatakan jika memungkinkan, Jepang hanya akan menggunakan energi nuklir dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Menanggapi pernyataan Menteri Perindustrian Jepang, Pihak Asosiasi Listrik Jepang menyayangkan hal tersebut.
Ia menilai energi nuklir dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan industri di Jepang. Mereka menginginkan agar kebijakan pengembalian energi nuklir terus dilanjutkan. "Kami akan memberi kontribusi bagi untuk kebijakan energi nasional yang memanfaatkan tenaga nuklir," ujar Makoto Yagi, ketua Asosiasi Industri Listrik.
Ia menjelaskan kontribusi yang diberikan oleh pihaknya diantaranya berupa jaminan keselamatan bagi pekerja di industri nuklir dan penduduk yang berada dekat dengan wilayah industri.