Rabu 16 Apr 2014 05:31 WIB

Pemimpin Amanah

Pemanjat dari Federasi Panjat Tebing Indonesia memasang spanduk raksasa bertuliskan 'Pilih Yang Jujur' di Gedung KPK Jakarta, Selasa (8/4). (Republika/Agung Supriyanto)
Pemanjat dari Federasi Panjat Tebing Indonesia memasang spanduk raksasa bertuliskan 'Pilih Yang Jujur' di Gedung KPK Jakarta, Selasa (8/4). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail

  

Pada suatu hari, Abu Dzar al-Ghifari meminta kepada Nabi SAW agar diangkat sebagai pejabat (semacam wali kota).

Sembari menepuk-nepuk pundaknya, Nabi SAW menolak permintaan itu dan berkata, ’’Tidak, Abu Dzar.  Engkau orang lemah. Ketahuilah, jabatan itu amanah. Ia  merupakan kehinaan dan penyesalan di hari kiamat, kecuali bagi orang yang mendapatkannya secara benar, dan mempergunakanya dengan benar pula.” (HR Muslim).

Hadis ini menarik untuk direnungkan pada saat bangsa Indoensia sedang mencari dan akan memilih pemimpin, dalam pemilu presiden nanti. Menunjuk pada hadis di atas, seorang pemimpin tidak cukup hanya baik secara moral.

Seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan dan integritas sekaligus yang dalam hadis ini disebut amanah.

Amanah berarti kepercayaan atau bisa dipercaya. Amanah berasal dari akar kata yang sama dengan iman. Jadi, amanah itu implikasi dari iman.

Tak ada iman bagi yang tak amanah,” demikian sabda Nabi (HR Ahmad). Ini berarti, kalau ada iman, maka ada amanah. Makin kuat iman semakin kuat pula sifat amanah pada seseorang. Amanah juga memiliki implikasi sosial.

Wujudnya berupa rasa aman dan kedamaian pada masyarakat. Kata al-amn yang diindonesiakan menjadi rasa aman dan damai berasal dari akar kata yang sama dengan amanah.

Ini juga mengandung makna bila pemimpin amanah, bisa dipercaya, lantaran dapat melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, maka kehidupan masyarakat akan aman dan damai. Semakin pemimpin amanah, semakin rakyat aman dan sejahtera.

Dalam bahasa modern, amanah itu disebut trust (kepercayaan) atau trustworthiness (layak dan bisa dipercaya). Pemimpin amanah memiliki setidak-tidaknya tiga kriteria. Pertama,  kapabilitas yakni kemampuan atau kompetensi.

Ini diukur antara lain, melalui kepandaian dan ilmu, keterampilan mengelola dan memimpin . Manusia secara umum sulit atau tidak bisa memberi kepercayaan kepada orang yang bodoh atau tidak kompeten.

Kedua, integritas yakni kualitas moral dan keluhuran budi pekerti. Integritas menunjuk pada satunya kata dan laku perbuatan. Dalam intergirtas itu terdapat karakter. Karakter dibedakan dari citra.

Karakter adalah apa yang sebenarnya mengenai diri Anda sedangkan citra adalah apa yang dibayangkan orang tentang Anda yang boleh jadi bukan diri anda yang sebenarnya. Pemimpin memerlukan karakter, bukan citra.

Dalam integritas, juga terdapat kejujuran, yang berarti berkata benar atau mengatakan apa yang dilakukan dan melakukan apa yang dikatakan.

Integritas sangat  penting karena masyarakat tidak mungkin bisa memercayai orang yang tidak memiliki integritas tinggi.

Apalagi orang yang sudah nyata-nyata cacat secara moral, karena korupsi, menyuap, dan berbagai tindak kejahatan lainnya. Ketiga, bukti dan hasil.

Pada akhirnya, pemimpin disebut amanah saat sanggup membuktikan kepada rakyat dan dunia, kepemimpinan yang diembannya membawa perubahan bagi kemajuan bangsa dan peradaban. Wallahu a`lam!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement