Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Salah satu dimensi kebesaran Nabi Ibrahim ialah besarnya pengorbanan yang ditunjukkan kepada Allah melalui ketulusannya dalam mengorbankan putra kesayangannya.
Nabi Ismail lahir setelah melalui penantian panjang. Kisah keluarga ini sarat dengan pesan moral.
Nabi Ibrahim adalah simbol bagi manusia yang rela mengorbankan apa saja demi mencapai keridhaan Tuhan, rela menyembelih anaknya, bahkan rela mengorbankan diri dalam kobaran api.
Setiap orang mempunyai kelemahan terhadap sesuatu yang dicintainya. Kelemahan Nabi Ibrahim terletak pada anak kesayangan yang sudah lama didambakannya dan dari sini pula kembali diuji Tuhan berupa godaan setan.
Tetapi, Nabi Ibrahim lulus dari ujian itu. Ia secara tulus dan ikhlas mau mengorbankan putra kesayangannya.
Nabi Ismail adalah simbol bagi sesuatu yang paling dicintai dan sekaligus berpotensi melemahkan dan menggoyahkan iman, simbol bagi sesuatu yang dapat membuat kita enggan menerima tanggung jawab.
Simbol bagi sesuatu yang dapat mengajak kita untuk berpikir subjektif dan berpendirian egois. Tegasnya, simbol bagi segala sesuatu yang dapat menyesatkan kita.
Mari kita mengintrospeksi dan mengukur diri kita masing-masing. Seandainya kita adalah figur "Ibrahim", sudahkah kita memperoleh iman setangguh beliau? Sudahkah kita menunjukkan pengorbanan yang optimal ke jalan-jalan yang diridhai Tuhan?
Jika kita, misalnya, berada di puncak karier, sudah relakah kita mengorbankan segalanya demi mempertahankan prinsip-prinsip ajaran yang dianut?