Jumat 25 Apr 2014 05:19 WIB

Kisah Sedih Muslimah yang Dilarang Berjilbab

Dengan 650 juta pemakai jilbab secara global, jumlah wanita Muslim bermain sepak bola tentu berjumlah sangat besar
Foto: al-arabiya
Dengan 650 juta pemakai jilbab secara global, jumlah wanita Muslim bermain sepak bola tentu berjumlah sangat besar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fauziah Mursid

Diskriminasi terhadap Muslimah berjilbab masih terjadi di sejumlah negara. Bahkan, di negara yang mayoritas penduduknya Muslim, seperti Indonesia, sempat muncul larangan bagi polisi wanita mengenakan jilbab.

Situasi yang sama terjadi di Prancis. Namun, yang jadi korban diskriminasi bukannya polwan, melainkan pesepak bola. Prancis menjadi negara yang terang-terangan menolak mencabut larangan penggunaan penutup kepala atau jilbab bagi pesepak bola. Hal itu yang disampaikan Menteri Olahraga Prancis yang baru, Thierry Braillard, seperti dikutip ESPN, Rabu (23/4).

Sang menteri mengatakan bahwa ia mewakili Pemerintah Prancis mendukung keputusan Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) yang tetap melarang penggunaan jilbab untuk pemain sepak bola di negaranya.

Keputusan FFF tersebut justru berseberangan dengan keputusan federasi sepak bola dunia (FIFA) dan Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional (IFAB). Pada Maret, kedua badan dunia tersebut secara resmi sepakat mencabut larangan penggunaan jilbab dan mengizinkan penggunaan penutup kepala tak hanya kepada pesepak bola wanita, tetapi juga pemain laki-laki asalkan sesuai dengan jersey tim.

Sebelumnya, penggunaan jilbab ini dilarang dalam sepak bola resmi sampai 2012 karena dianggap menimbulkan risiko besar cedera di kepala atau leher. Namun, IFAB kemudian melakukan percobaan selama dua tahun menyusul permintaan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC). Terbukti, penggunaan jilbab tidak berisiko menimbulkan cedera.

Namun, sebulan pascadiresmikan, FFF menjadi badan yang menolak pencabutan larangan tersebut. FFF menganggap penggunaan jilbab oleh para pemain bertentangan dengan hukum yang berlaku di Prancis.

Braillard yang berada di balik dukungan pelarangan itu mengatakan. negaranya memiliki keterikatan dengan prinsip nilai-nilai negara republik, terutama negara yang menjunjung nilai sekularitas. Hal demikian, kata Braillard, juga berlaku di arena olahraga.

“Ini (negara) republik. Kita bertahan tetap membela posisi Federasi Sepak Bola Prancis. Komitmen kami terhadap prinsip-prinsip sekularitas adalah pilar konstitusi kita. Adalah hal yang normal pemerintah menunjukkan dukungan atas posisi yang diambil oleh Federasi Sepak Bola Prancis,” ujar Braillard seperti dikutip ESPN, Rabu (23/4).

Namun, Presiden FIFA Sepp Blatter kepada Bein Sport pada pekan lalu menyatakan, FFF tidak mempunyai pilihan selain mengikuti instruksi organisasinya bahwa pemain perempuan diperbolehkan untuk memakai penutup kepala selama pertandingan resmi.

Sikap FFF ini pun dikecam pemain wanita Muslim di Prancis. Abdelak Haraga, presiden klub Le Petit Bard, di Montpellier mengungkapkan kepada RTL, pertandingan timnya yang berlangsung di Beziers dibatalkan karena pemainnya mengenakan jilbab.

Haraga juga menilai para pemain tentu menginginkan kebebasan untuk berpakaian sendiri tanpa mengaitkan agama yang dianutnya dengan profesinya tersebut. "Saya tidak berpikir ada fundamentalisme agama yang nyata. Itu sama sekali tidak terjadi,” ujar Haraga.

Apa yang terjadi di Prancis ini memberikan fakta bahwa selalu ada alasan untuk mendiskriminasi jilbab. Bila di kepolisian Indonesia alasannya keseragaman, di sepak bola alasannya risiko cedera dan hukum negara. Namun, satu hal sepertinya sudah dilupakan sebagai alasan, yakni kemanusiaan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement