Senin 28 Apr 2014 11:32 WIB

Permen Jilbab Muat Sanksi

Pelajar berjilbab, ilustrasi
Pelajar berjilbab, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

Jika Kemendikbud tak mampu selesaikan isu jilbab Bali, DPR dorong perlu ada campur tangan Presiden.

JAKARTA – Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) mengenai aturan seragam sekolah termasuk jilbab akan memuat sanksi. Dengan peraturan ini, pemerintah menjamin siswi Muslim diizinkan untuk mengenakan jilbab di sekolah.

Peraturan tersebut nantinya menggantikan SK Dirjen Dikdasmen Nomor 100 tahun 1991. Saat ini sebanyak 40 sekolah di Bali masih memberlakukan larangan berjilbab bagi siswinya baik secara lisan maupun tertulis.

Menurut Ketua Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) Bidang Komunikasi Umat Helmy Al-Djufri,  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengakui selama ini tak memberikan sanksi kepada sekolah atau wilayah yang melanggar SK Dirjen Dikdasmen Nomor 100.

Kemendikbud beralasan tak memiliki pijakan hukum. Peraturan menteri yang masih dalam proses, kelak akan menjadi pijakan hukum itu.’’Dalam rancangan peraturan menteri ini memuat sanksi dan berharap ada dampak signifikan,’’ kata Helmy, Ahad (27/4).

Karena masih rancangan, kata Helmy, Kemendikbud belum memberitahu bentuk sanksi apa saja yang akan termuat dalam peraturan menteri kelak. Ia menambahkan, rancangan ini akan diuji publik pada 5 Mei 2014.

Uji publik yang melibatkan dinas-dinas pendidikan dari provinsi yang Muslim menjadi minoritas akan berlangsung selama tiga kali. Sambil menunggu aturan yang lebih tegas soal jilbab, PB PII dan PW PII Bali melanjutkan advokasi kebebasan berjilbab.

Mereka menyampaikan titipan bantuan dari masyarakat Jawa Barat bagi siswi Muslim di Bali. Pada Senin (28/4), mereka menanyakan kembali kesediaan dinas pendidikan kabupaten dan kota serta DPRD Provinsi Bali untuk melakukan audiensi.

Anggota Komisi X DPR RI Herlini Amran mengatakan, tak kunjung selesainya isu pelarangan jilbab siswi Muslim di 40 sekolah di Bali karena tak adanya aturan yang tegas. Menurut dia, kuncinya ada pada Kemendikbud.

UUD 1945, kata Herlini, adalah aturan tertinggi di negeri ini yang harus diterjemahkan dengan benar. Baik oleh Kemendikbud maupun dinas pendidikan di daerah. Sebab konstitusi menjamin warga negara menjalankan keyakinannya, termasuk berjilbab.

Karena itu, ia meminta Kemendikbud tak cuci tangan dan melepaskan begitu saja pelarangan jilbab ini kepada siswa dan sekolah. Ia mengaku, sekarang memang masanya otonomi daerah dan otonomi sekolah. Namun ia menegaskan, acuannya tetap pada UUD 1945.

Apalagi ini menyangkut kebebasan siswi Muslim berjilbab. ‘’Jilbab tak bisa dibatasi apalagi hanya karena alasan otonomi,’’ kata Herlini. Saat dinas pendidikan di daerah tak bisa menjamin hak keberagamaan siswinya, Kemendikbud harus mengambil alih.

Sebab bisa jadi daerah memiliki keputusan sendiri yang justru tidak adil bagi salah satu pemeluk agama. ''Dari pada muncul ketidakadilan dan tidak mengayomi, Kemendikbud harus turun langsung ke sana,'' kata Herlini menegaskan.

Ia mengatakan harus ditentukan sanksi bagi sekolah yang melanggar kebebasan menjalankan agama. Meski demikian, untuk menentukan bentuk sanksi yang tepat, Kemendikbud dan dinas pendidikan daerah harus duduk bersama.

Herlini sempat pula menyinggung campur tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika Kemendikbud tak mampu. Ia menginginkan agar umat Islam di Bali juga memperjuangkan kebebasan berjilbab bagi pelajar ini.

Sebab, ia melihat ini bukan hanya perjuangan satu pelajar tapi umat Islam di sana. Semua pihak harus terlibat memperjuangkan hak berjilbab. ‘’Kita memang sibuk pemilu tetapi persoalan umat ini tak bolah terlewat. Jangan sampai hilang begitu saja.’’

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement