Selasa 06 May 2014 19:01 WIB

Zakat untuk Kemaslahatan Bersama (2-habis)

Zakat untuk pendidikan (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Zakat untuk pendidikan (ilustrasi).

Oleh: Didin Hafidhuddin

Zakat sejatinya bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan para mustahik terutama fakir miskin yang bersifat konsumtif dalam waktu sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada mereka, dengan cara menghilangkan ataupun memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.

Dalam kaitan ini, yang merekat solidaritas sosial melalui zakat adalah amil yang diangkat atau disahkan secara resmi oleh negara dan melaksanakan tugasnya secara amanah profesional, profesional dan transparan.

Maka dari itu, zakat satu-satunya ibadah dalam Islam yang disebut secara eksplisit dalam ayat Alquran ada “petugasnya” yakni amil.

Penegasan amil dalam konteks zakat di dalam Alquran diungkapkan sebagai bentuk jama’ (plural), yaitu “amilin”, artinya amil itu bukan orang per orang yang bekerja sendiri-sendiri, tanpa keterkaitan satu sama lain.

Tetapi amilin harus dilihat dan dipahami sebagai kumpulan orang dan kolektivitas yang memiliki legalitas, terikat dalam institusi dan sistem, serta wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada pemerintah dan masyarakat.

Oleh karena itu untuk mewujudkan fungsi zakat untuk kemaslahatan bersama, penguatan institusi amil menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penguatan sistem zakat secara keseluruhan.

Langkah ke arah itu sedang dilakukan sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam undangundang digariskan bahwa pengelolaan zakat bertujuan:

Pertama, meningkatkan pengelolaan zakat. Kedua, meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Wallahu a’lam bish shawab.

*Ketua Umum Baznas

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement