REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pembantu Ketua 1 Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Bambang Somali mengatakan, STIP bukan sekolah tinggi dengan sistem semimiliter. Bambang menjelaskan, tidak ada peraturan yang menekankan masalah senioritas di ruang lingkup STIP.
"Kami memang mendidik dengan keras, tapi bukan dengan kekerasan," kata Bambang dalam sambutannya dalam kunjungan Wali Kota Jakarta Utara, Rabu (7/5).
Kewenangan senior terhadap junior, kata dia, hanya mencakup ruang lingkup menjaga keamanan dan ketertiban di dalam proses pembelajaran. Seperti pada saat upacara, apel pagi, makan dan lain sebagainya. Bambang mengatakan, seluruh siswa STIP yang berjumlah 1 600 siswa diwajibkan untuk tinggal di sebuah asrama agar mudah terpantau pengawasannya.
Namun, kata dia, saat ini pengelola masih kekurangan tenaga pengawas untuk memberikan pengawasan yang optimal. Ia menyampaikan, jumlah pengawas yang tersedia sampai saat ini hanya berjumlah 24 orang setiap malamnya. "Mereka itu adalah para pensiunan militer," terangnya.
Pihak pengelola sekolah, kata dia, sudah mendiskusikan masalah kurangnya tenaga pengawas dalam rapat terakhir. Oleh karena itu, menurutnya, pihak sekolah menyetujui rencana penambahan tenaga pengawas yang berjumlah 60-70 orang.
Bambang juga mengharapkan peran dosen pembimbing dalam melakukan pengawasan terhadap para siswa. Para dosen pembimbing ini, terang Bambang, harus dapat membangun sikap para siswa agar menjadi siswa yang memiliki nilai-nilai luhur dalam bersikap, bukan hanya dalam akademis.
Bambang mengatakan, STIP meluluskan 400 siswanya setiap tahun. STIP, kata dia, bukan merupakan sekolah kedinasan, oleh karena itu siswa STIP masih dikenakan biaya enam sampai tujuh juta rupiah setiap bulannya. Demi mencapai sistem pendidikan yang baik, ia mengharapkan agar semua pihak, baik para pengajar, karyawan dan siswa STIP dapat saling bekerja sama.
"Kita di sini semua keluarga, tidak ada istilah senior ataupun junior," pungkasnya.