Kamis 08 May 2014 09:03 WIB

Belajar dari Suasana Batin: Ketika Ditimpa Musibah (2)

Menyikapi musibah dengan tawakal.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang/ca
Menyikapi musibah dengan tawakal.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Bagi orang beragama, cara terbaik yang harus dilakukan ialah kembali kepada Tuhan. Kita harus yakin, sebesar apa pun sebuah problem pasti masih di ambang batas kemampuan hamba-Nya.

Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih, tidak mungkin membebani sesuatu di luar batas kemampuan dan daya dukung hamba-Nya. “Allah tidak akan membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS al-Baqarah [2]: 286).

Dalam perspektif tasawuf, musibah atau kekecewaan hidup adalah salah satu wujud “surat cinta” Tuhan kepada hamba-Nya. Mungkin Tuhan merindukan hamba-Nya, tetapi yang bersangkutan terkecoh dan tersesat dengan kesenangan duniawi.

Akhirnya, Tuhan mengutus musibah atau kekecewaan kepadanya dan ternyata ia secara efektif kembali kepada Tuhannya.

Seseorang yang hidup di dalam kemewahanan atau dalam kondisi berkecukupan sering kali lebih sulit untuk melakukan pendakian (taraqqi) kepada Tuhannya karena semua kebutuhannya terpenuhi.

Kiat menyikapi musibah, kita harus tawakal, menyerahkan diri secara total dan sepenuhnya kepada Allah SWT. Allah SWT sedang mencintai hamba-Nya dan ingin menyelamatkannya dari siksaan lebih pedih dan lama.

Nabi pernah bersabda: “Tidaklah seorang Muslim ditimpa musibah, kedukaan, penyakit, kesulitan hidup, kesengsaraan, hingga semisal duri yang menusuk kakinya, melainkan itu semua berfungsi sebagai pencuci dosa masa lampau.” (Muttafaq Alaih).  

Dalam kesempatan lain, Rasulullah menegaskan dalam hadis dari Anas RA yang diriwayatkan Turmudzi: “Jika Allah SWT menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya maka Ia menyegerakan siksaan-Nya (di dunia) dan jika Allah SWT menghendaki sebaliknya kepada hamba-Nya maka Ia menunda siksaan-Nya di hari kiamat.”

Musibah dan kekecewaan tidak mesti diratapi terlalu lama. Sering kali kita harus bersyukur bahwa musibah memang membawa kekecewaan hidup, tetapi pada saat bersamaan kita bisa merasakan adanya kedekatan khusus diri kita dengan Tuhan.

Sering kali justru rasa kedekatan itu lebih menonjol ketimbang rasa kekecewaan itu. Ini artinya, musibah membawa nikmat dan betul-betul musibah terasa sebagai “surat cinta” Tuhan kepada kekasih-Nya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement