Oleh: Nashih Nashrullah
Kontroversi amalan Rajab muncul akibat penyikapan terhadap sejumlah hadis terkait ritual ibadah tertentu bulan ini.
Rajab adalah bulan yang mulia dan memiliki kedudukan agung. Rajab termasuk salah satu dari empat bulan yang disucikan dan dilarang pertumpahan darah, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam. (Larangan itu berlaku di semua bulan, hanya penekanan larangan itu lebih pada keempat bulan itu).
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.”(QS at-Taubah [9]: 36).
Rajab dikenal dengan beberapa sebutan. Penamaan Rajab itu, menurut Ibn Faris dalam Maqayis al-Lughah, berarti pengagungan. Konon, masyarakat pra-Islam menghormati Rajab. Selain kata Rajab, ada pula padanan lainnya, yakni Mudhir.
Ada sejumlah alasan, mengapa Rajab disebut Mudhir. Konon, Mudhir adalah salah satu kabilah Arab pada masa jahiliah yang tidak mengotak-atik bulan-bulan haram tersebut agar mereka bebas melakukan larangan-larangan itu.
Kisah itu terabadikan di surah at-Taubah ayat ke-37. Alasan lain, karena suku ini menunjukkan penghormatan yang lebih terhadap Rajab. Ini bila dibandingkan dengan suku yang ada saat itu.
Sedangkan, sebutan Rajab berikutnya, yaitu Athirah. Latar belakang pemakaian nama Athirah lantaran masyarakat Arab pra-Islam menyembelih hewan kurban pada bulan ini. Athirah berarti hewan kurban.
Tentang hukum penyembelihan kurban di Rajab, mayoritas ulama sepakat hukumnya tidak boleh dilaksanakan pada Rajab. Mereka berdasarkan pada Hadis Riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah yang menyebutkan tentang tidak berlakunya Athirah pada Rajab.
Namun, sebagian ulama Mazhab Syafii memperbolehkan penyembelihan kurban pada Rajab. Bahkan, menghukuminya sunah. Pendapat ini juga terkenal banyak dipakai oleh sejumlah ulama Basrah pada era salaf.
Mereka merujuk hadis riwayat Mukhanndaf bin Salim al-Ghamidi yang dinukilkan sejumlah imam hadis, seperti Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibn Majah.