REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Universitas Kristen Maranatha Bandung Evo S Hariandja mengatakan sejauh ini belum ada calon presiden yang memiliki strategi jitu untuk memperkuat nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat (AS).
"Dalam kampanye maupun debat kandidat, kedua calon tidak membahas bagaimana bisa memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar. Saya juga pernah menanyakan itu ke salah satu capres melalui media sosial, tetapi tidak dijawab," kata Evo S Hariandja, Jumat (20/6).
Pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar disebabkan tingginya nilai impor industri otomotif dan industri pendukungnya. Evo menyebut, impor industi otomotif mencapai 41 persen dari total impor Indonesia.
Tingginya impor otomotif itu, kata Eko, sangat mengganggu neraca perdagangan Indonesia. Tinggi nilai impor tersebut juga berimbas ganda kepada kebutuhan transportasi, bahan bakar minyak dan logistik. "Karena itu, untuk memperkuat nilai rupiah terhadap dolar, impor industri otomotif dan industri pendukungnya harus bisa ditekan. Namun, para pembuat kebijakan sepertinya tidak paham dengan hal itu," tuturnya.
Menurut Evo, bila impor industri otomotif dan pendukungnya bisa ditekan menjadi 30 persen saja, nilai tukar rupiah bisa menguat dari saat ini di kisaran Rp 11.900 menjadi Rp 9.000 per dolar AS. Dia menilai, dalam debat kandidat dengan tema 'Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat' yang diadakan Ahad (15/6) malam, kedua calon presiden terlalu sibuk bicara hal-hal mikro tanpa menyentuk kebijakan makro sama sekali.