REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) terbesar di Indonesia jatuh pada sarana transportasi. Sebanyak 70 persen konsumsi energi minyak untuk alat transportasi. Apabila Indonesia ingin menghemat energi sudah pasti akan melibatkan industri otomotif.
"Di sisi hilir sudah pasti melibatkan industri otomotif," kata Dewan Energi Nasional Herman Agustiawan dalam acara Bincang Bisnis Republika, Rabu (25/6), di Jakarta.
Herman mengatakan, pemerintah harus membuat kebijakan dalam industri hilir agar mempermudah penghematan energi.
Misalnya, Indonesia bisa menjadikan India sebagai contoh. Di India saat ini sudah lebih dari 500 SPBG yang berdiri. Padahal India baru memulai kebijakan konversi BBM menjadi BBG sejak 2001. Indonesia sudah menggaung BBG sejak tahun 80-an.
Namun SPBG yang berdiri masih dalam hitungan jari. Pemetintah harus memberikan mandatori yang tegas. Semua bisa dimulai dari kendaraan umum.
Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Indonesia (Aspermigas) Effendi Siradjuddin mengatakan, Indonesia harus berhati-hati dengan berkembangnya industri otomotif di dalam negeri. "Kita harus negosiasi dengan perusahaan mobil dalam memroduksi mobil listrik," katanya.
Pemerintah harus memberikan instruksi langsung dalam membuat dan memroduksi mobil listrik. Hal ini juga bisa dijadikan kesempatan untuk produksi mobil dalam negeri. Apabila sudah terlanjur membuat perjanjian memroduksi mobil berbahan bakar bensin, pasarnya harus di luar Indonesia.
Kemudian mengenai transportasi masal juga harus segera dibuat. Monorail harus dibangun di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, dan Medan. Sehingga apabila ada krisis minyak atau Indonesia tidak mendapat impor, monorail tetap bisa membawa pegawai pergi kerja. Sehingga tidak bergantung dari minyak impor. Listriknya bersumber dari batu bara dan gas. Agar keduanya bisa jalan cepat, insentif harus dilakuakan. "Jangan ragu-ragu karena pertimbangannya bukan ekonomi tapi kelangsungan negara," kata Effendi.