REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Tengku Zulkarnain menegaskan pernyataan Romo Frans Magnis Suseno salah besar terkait Islam garis keras di kubu capres-cawapres nomor urut satu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
"Siapa yang dimaksud dengan Islam garis keras itu? Apakah Amien Rais? Amien Rais itu gelar Doktornya didapat di Amerika Serikat (AS). Jadi, tidak mungkin Islam garis keras," kata Tengku saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (2/7) petang.
Menurut Tengku, lulusan Doktor dari Amerika itu standarnya Islam moderat, tidak pernah ada dalam sejarah Doktor tamatan amerika menjadi Islam garis keras. Coba sebutkan kalau memang ada.
"Saya tahu persis siapa Amien Rais. Terhadap Ahmadiyah saja, Amien Rais tidak pernah menyalahkan Ahmadiyah, apalagi Syiah. Jadi, Amien Rais sangat moderat, anggapan Frans Magnis itu salah besar," ujar Tengku.
Jadi, siapa yang dimaksud Islam garis keras di belakang Prabowo? Apa yang dimaksud PKS? PKS itu moderat. Anggota legislatif PKS di DPRD saja ada 12 orang yang beragama Kristen. Bahkan di DPR RI, ada dua anggota legislatif PKS yang Kristen.
Kalau melihat PPP, ujar Tengku, itu Partai Islam sangat moderat, bahkan sanga lembut dan nasionalis, nggak ada bakat jadi teroris. Apa yang dimaksud PAN? Itu juga partai moderat. Hatta Rajasa itu alumni ITB.
"Jadi, pernyatan Frans itu sangat ambigu. Saya melihatnya sebagai bentuk kepanikan pendukung capres nomor urut dua, Joko Widodo (Jokowi). Franz bukan tidak tahu hal itu. Jadi, tidak ada Islam garis keras di kubu Prabowo," kata Tengku.
Menurut Tengku, tidak ada pendukung prabowo yang menyerang Jokowi, termasuk menuding Jokowi didukung tokoh-tokoh komunis, Syiah, Ahmadiyah dan aliran sesat. Kubu Prabowo tidak mengangkat isu-isu sektarian kampungan itu.
Kubu prabowo menunjukkan kampanye elegan. Jadi, ini menunjukkan pendukung Jokowi sedang panik. Tokoh sekaliber Frans magnis Suseno, yang selama ini mendukung demokrasi, tentu tidak boleh menolak hasil demokrasi.
"Ini resiko demokrasi, kalau tidak ada yang ideal memimpin Indonesia, tentu harus diterima. Bahkan pemenangya kambing pun harus diterima, itulah resiko demokrasi," ungkap Tengku.