REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Revisi UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dianggap cenderung mengedepankan kepentingan pragmatis partai politik peraih suara di parlemen.
"Kalau upaya revisi itu ternyata untuk kepentingan pragmatis parpol semata, maka bisa jadi undang-undang tersebut di masa mendatang selalu akan direvisi sesuai dengan fragmentasi politik yang berkembang," kata pakar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Sri Hastuti Puspitasari di Yogyakarta, Sabtu (12/6).
Ia menilai, upaya merevisi UU MD3 itu jauh dari upaya menguatkan dan memperbaiki mekanisme kerja parlemen.
"Saya melihat ada preseden tidak baik dalam proses legislasinya. Di mana revisi undang-undang itu akhirnya lebih mencerminkan politik yang sangat pragmatis dari parpol yang mendapatkan suara di DPR," katanya.
Semestinya, menurut dia, rencana merevisi undang-undang tersebut dilakukan dengan melakukan asesmen. Serta melihat implikasi jangka panjangnya.
"Seharusnya ada asesmen, dan bukan hanya berorientasi pada kebutuhan saat ini saja," kata dia.
Ia menjelaskan undang-undang MD3 tersebut sudah pernah direvisi pada massa reformasi 1999. Hasilnya partai pemenang tidak secara otomatis menjadi ketua DPR.
"Karena parpol pemenang pada waktu itu kalah dalam manufer politik, sehingga tidak mendapatkan tempat sebagai ketua DPR," katanya.
Kemudian pada pemilu 2009, Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu dan undang-undang itu kembali direvisi dengan tujuan mengembalikan kewenangan partai pemenang pemilu menempati posisi ketua DPR.
"Oleh sebab itu, jangan disalahkan apabila PDI Perjuangan tidak menyetujui revisi tersebut. Karena sebelumnya telah menghormati dan diberikan contoh saat Demokrat," katanya.