REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan Undang-undang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) menilai banyak kejanggalan dalam pengesahan revisi UU MD3. DRP dianggap tidak memiliki itikad baik dalam memperbaiki wajah parlemen.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Ronald Rofiandri mengatakan, dalam revisi UU MD3 ditemukan banyak pasal yang memperbesar kewenangan anggota dewan. Tetapi di sisi lain, skala akuntabilitasnya justru diperkecil. Hal ini membuat ruang pengawasan terhadap anggota dewan semakin sempit.
"Kita melihat melihat keinginan DPR untuk mengubah wajah parlemen tidak ada. Bahkan UU tidak memberi ruang pengawasan yang cukup," katanya kepada //Republika// di Jakarta, Ahad (13/7).
Ronald menjelaskan, dalam revisi UU MD3, DPR menghapus kewajiban bagi fraksi dalam melakukan evaluasi terhadap anggota yang dinilai tidak menjalankan kewajiban dengan baik. Selain itu, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) juga dihapus dalam hasil revisi UU tersebut.
"Padahal itu dibentuk agar penggunaan anggaran lebih transparan dan akuntabel," ujar Direktur Monitoring dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini.
Dia menambahkan, secara keseluruhan ada beberapa poin penting yang harus disoroti dari pengesahan UU MD3. Di antaranya Hilangnya BAKN, keterwakilan perempuan di DPR, hak imunitas anggota dewan yang diperluas dan dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Dibentuknya MKD, kata dia, semakin mempertegas bahwa dewan ingin mempertebal imunitasnya terkait masalah hukum. Sebab didalamnya diatur bahwa penyidik yang ingin memeriksa anggota dewan harus mengantongi izin dari MKD. "Ini kan jelas menghambat dan memperlama proses," katanya.
Tetapi, lanjutnya, hal itu hanya untuk kasus hukum yang bersifat umum. Sementara untuk kasus hukum seperti tindak pidana korupsi, KPK tidak perlu meminta izin kepada MKD karena menggunakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat khusus atau //lex specialis//.
"Izin kepada MKD di luar tindak pidana korupsi seperti pencemaran nama baik, pemalsuan dokumen. Tapi tentu tetap saja menghambat proses yang dilakukan penegak hukum," katanya.
Selain itu, Masyarakat Koalisi Sipil juga menyoroti adanya pasal yang memberikan hak kepada anggota dewan terkait alokasi anggaran dana yang mirip dana aspirasi. Dalam pasal 80 huruf j UU MD3 disebutkan bahwa anggota dewan berhak mengajukan usul pembangunan di daerah pemilihannya dan berhak mendapatka anggaran atas usulan tersebut.
"Narasi penjelas tentang itu tidak disebutkan secara jelas di dalamnya, itu yang bahaya karena bisa disalahtafsirkan," ujarnya.