Oleh: Hafidz Muftisany
Tak seperti biasanya, Lapangan Lincolnshire, Inggris, dipenuhi hampir 4.500 orang dari Kamis (31/7) hingga Ahad (3/8). Wajah-wajah mereka bahagia. Beberapa tampak mengenakan hijab, para prianya tak canggung mengenakan serban dan peci.
Rumput hijau yang luas dialasi sajadah yang dibawa dari rumah. Masing-masing terlihat serius menyimak pemaparan pembicara di depan. Mereka adalah komunitas Muslim se-Inggris yang berkumpul selepas Idul Fitri untuk mengikuti festival “Muslim Glastonbury”.
Festival ini sudah digelar kelima kalinya. Dalam suasana santai dan keakraban, festival tersebut sengaja membahas masalah-masalah yang dianggap tabu dari seorang Muslim di tanah Britania. Mulai dari hubungan laki-laki dan wanita, seksualitas dalam Islam, dan isu ekstremisme sektarian.
Semuanya dibahas secara terbuka dalam suasana kegembiraan Idul Fitri. Pengurus Islamic Society of Britain, Dilwar Hussain, menyebut tujuan berkumpulnya komunitas Muslim ini untuk menghapus stigma negatif tentang Islam.
Hussain mengatakan bahwa Muslim Inggris merupakan kelompok yang tidak hanya tertarik pada satu hal. “Mereka memiliki beragam kepentingan. Tidak adil jika mereka dikelompokkan dalam kelompok ekstrem atau liberal,” ujarnya kepada The Guardian.
Masalah sensitif seperti ekstremisme sektarian dibahas pada hari pertama dan kedua. Pada Sabtu, peserta disuguhi diskusi percakapan terbuka tentang seks dan hubungan lawan jenis dalam Islam. Hari terakhir, dibahas tentang membumbui jalinan pernikahan. “Ini seperti obrolan di meja makan. Semua kita bahas terbuka,” katanya.
Selaiknya sebuah festival, bukan hanya diskusi serius yang menjadi menu utama. Beragam panggung hiburan mulai musik, beatbox, komedi disuguhkan guna meramaikan acara. Arena bermain besar untuk anak-anak disediakan khusus, sedangkan para orang tua mereka serius mengikuti diskusi terbuka. Suasana semakin akrab karena festival didesain dengan tenda-tenda yang disediakan bagi keluarga Muslim.
Mary Maclntyre, seorang dosen dari London, mengaku sengaja mengajak semua keluarganya untuk menikmati festival selepas berpuasa sebulan selama Ramadhan. “Kami pikir anak-anak perlu berada di lingkungan Islami. Mereka bisa melihat agama mereka dari segi positif,” ujarnya.
Tak ketinggalan sajian berbagai makanan halal ikut meramaikan festival Muslim terbesar di Inggris itu. “Muslim Inggris datang ke sini dengan kebanggaan. Mereka betul-betul menikmati menjadi seorang Muslim,” kata Maclntyre.
Mantan uskup agung Cantenbury, Rowan Williams, didapuk menjadi pembicara dari kalangan non-Muslim. Williams menyampaikan menjadi seorang Muslim sangat berarti bagi nilai-nilai Inggris. Ia menyayangkan, masih sedikit kalangan profesional muda Muslim di Inggris yang berani tampil.
Sentilan Williams rupanya dirasakan seoang pemuda Muslim Inggris, Nadia Istiaq. Nadia yang bekerja sebagai akuntan menyetujui pendapat Williams tentang prestasi Muslim muda di Inggris.
Nadia pun mengkritik bagaimana seharusnya seorang Muslim bisa lebih inklusif. “Saya selalu mencoba akrab dengan tetangga kami. Menjadi Muslim bukan menjadi ekslusif,” ujarnya yang datang bersama suami dan anaknya.
Inggris menjadi tempat tinggal bagi sekitar dua juta umat Islam menurut sensus tahun 2011. Islam menjadi agama yang perumbuhannya paling cepat kedua di tanah Inggris.