Rabu 06 Aug 2014 10:56 WIB

Derai Air Mata Harun Ar-Rasyid (2-habis)

Di tengah-tengah kesibukan mengurus negara, kegundahan dan kekosongan luar biasa dari dalam diri Khalifah Harun ar-Rasyid.
Foto: Civilization.wikia.com
Di tengah-tengah kesibukan mengurus negara, kegundahan dan kekosongan luar biasa dari dalam diri Khalifah Harun ar-Rasyid.

Oleh: Nashih Nashrullah

Putra Al-Mahdi dan Al-Khayzuran itu meminta al-Fadhil supaya mempertemukannya dengan tokoh lainnya.

Berangkatlah mereka ke al-Fadhil bin Iyadh, sufi ternama pada masa itu. Tibalah rombongan ke kediaman Ibnu Iyadh. Mereka mendapatinya tengah shalat dengan membaca Alquran.

Beberapa saat kemudian, diketuklah pintu rumah Ibnu Iyadh. “Siapa yang datang?” kata pemilik rumah. “Pemimpin umat,” jawab Ibnu ar-Rabi'. “Saya tidak ada urusan dengannya,” jawab al-Fadhil bin Iyadh. “Subhanallah, apakah kau tidak menaatinya?” ujar Ibnu ar-Rabi'.

Akhirnya, Ibnu Iyadh membuka pintu lantas kembali naik ke lantai atas, lalu mematikan lampu dan kembali ke sudut rumahnya untuk beribadah. Sontak, rumah gelap gulita. Para tamu mencoba meraba-raba dan secara tak sengaja tangan Khalifah Harun ar-Rasyid menyentuh telapak tangan al-Fadhil bin Iyadh.

“Betapa lembutnya tangan ini, seandainya besok selamat dari siksa Allah SWT,” ujar Ibnu Iyadh. Harun kaget bukan main, ia pun meminta tokoh sufi itu meneruskan petuahnya.

“Ketika Umar bin Abd al-Aziz memimpin, ia merasa tanggung jawab yang diemban sangat berat, ia pun meminta asupan semangat kepada tiga ulama, yaitu yang pertama, Salim bin Abdullah. Ia berpetuah, jika Anda ingin selamat dari siksa Allah, berpuasalah dari dunia dan jadikan kematian adalah waktu berbukanya.

Kedua, Muhammad bin Ka'ab al-Qurzhi berpesan hormati ayahmu, muliakan saudaramu, dan sayangi buah hatimu. Sedangkan, ketiga, Raja' bin Hayawih berujar, “Berikanlah apa yang mereka suka seperti kesukaanmu dan hindari apa yang tidak mereka senang seperti kau juga merasa tidak suka.”

“Silakan Anda meninggal, tetapi aku takut ketika datang waktu itu, tak seorang pun yang mengatakan ini seperti mereka berpesan kepada Umar bin Abd al-Aziz. Apakah Anda pernah mendapat pesan semacam ini?” ujar Ibnu Iyadh.

Harun ar-Rasyid menangis tersedu-sedu, air matanya tak berhenti berderai. Ia jatuh pingsan. Ibnu ar-Rabi' sempat iba dan meminta agar Ibnu Iyadh jangan terlalu keras menasihati. “Kalian telah membunuh (jiwanya) dan aku harus berhalus ria?” timpal Ibnu Iyadh.

Begitu sadar, Harun meminta agar nasihat itu diteruskan. Ia kembali menangis. Tangisan itu semakin kencang saat Ibnu Iyadh berpesan tentang bahaya kecurangan dan kezaliman jika ia memimpin rakyat. Ia pun tersadar dan berjanji akan menunaikan segala utang dan mengemban jabatannya dengan penuh amanat.

Rombongan pun meminta izin pulang. Harun ar-Rasyid memberikan hadiah kepada Ibnu Iyad seribu dinar. Tetapi, pemberian itu ditolak. “Aku menunjukkanmu kepada keselamatan dan engkau membayarku dengan dunia. Semoga Allah menyelamatkanmu,” ujar Ibnu Iyadh.

Harun pun lalu terdiam. Rombongan memutuskan pergi dan sempat membujuk istrinya supaya menerima itu lantaran kondisi ekonomi yang mengimpit keluarga mereka. Tetapi, Ibnu Iyadh bersikeras menolaknya.  

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement