REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Angka partisipasi pilpres kali ini, bahkan lebih rendah dibanding Pilpres 2009. Pada hal, pada 2009 lalu, muncul kasus hilangnya nama puluhan juta orang dalam DPT, yang diduga dilukan sistematis. Saat itu, Komnas HAM dan Pansus Hak Angket DPT DPR menyebut ada 40 juta orang yang dihilangkan dari DPT.
Menanggapi fenomena tersebut, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai gegap gempita di dunia online, tak mewakili seluruh pemilih. Sebab, masih ada komunitas offline yang kebanyakan berdiam di pedesaan dan pedalaman, yang absen dari hiruk-pikuk itu.
Penyebab lainnya, duga Titi, pertama, ada sebagian pemilih yang merasa tidak terwakili oleh hanya dua pasang calon. Kedua, kampanye jahat dan kotor membuat banyak orang terpengaruh, tapi sebagian lainnya malah jadi jenuh dan jengah.
Ketiga, adanya pemilih yang tetap apatis. Keempat, penyelenggaraan pilpres di bulan Ramadhan, turut berpengaruh. Kelima, piala dunia. “Biasanya, jam tujuh pagi pemilih sudah ramai di TPS. Tapi, dalam pilpres ini justru masih sepi,” kata Titi.
Jika memerhatikan angka undecided voters di survei-survei, pada pertengahan hingga akhir masa kampanye, terlihat embesar dibanding awal masa kampanye. LIPI, misalnya, dalam survei 5-26 Juni, mendapati undecided voters 23 persen.
Litbang Kompas, pada survei 1-15 Juni, mendapati 22,4 persen undecided voters. Institut Survei Indonesia, pada survei 15-21 Juni, menemukan 27,39 persen yang belum menentukan pilihan.
Undecided voters ini adalah pemilih mengambang. Dia bisa memutuskan memilih, bisa pula memutuskan golput. Dan, jika angka partisipasi pemilih ternyata terpuruk, bisa jadi sebagian besar mereka menarik diri dari pesta demokrasi dan menjadi golput.
Exit poll Indikator Politik Indonesia menemukan tren partisipasi menurun dibanding pileg lalu terjadi pada usia 22-25 tahun, dari 10,9 menjadi 9,0 persen; usia 26- 40 dari 39,2 menjadi 35,8 persen. Usia-usia ini justru paling melek teknologi. Sementara, kelompok usia lain justru naik.