REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Rusli Muhammad melihat PP Aborsi sebagai penyulut adanya kejahatan baru ketika peraturan tersebut ditetapkan.
''Ini faktor kriminogen, peraturan yang dibuat dimaksudkan memang untuk perlindungan, tapi nantinya justru menciptakan kejahatan baru,'' kata dia, Jumat (15/8).
Ia melanjutkan, efek yang akan disebabkan oleh peraturan tersebut ialah para wanita justru mencari cara agar diri seakan diperkosa dan melakukan aborsi, padahal kehamilan itu didasarkan kepada hubungan gelap.
Apalagi dengan batas 40 hari yang diperbolehkan melakukan aborsi, dokter yang melakukan tidak akan mungkin memaksa untuk meminta surat keterangan kepolisian terkait korban perkosaan. Karena, biasanya butuh proses yang penjang (lebih dari 40 hari) untuk menetapkan seseorang diperkosa (pemberkasan).
Menurut Rusli, aborsi pada intinya perbuatan yang terlarang. Aborsi masuk ke dalam perbuatan pembunuhan. Tidak alasan untuk membolehkan.
Pemerintah dalam hal ini mungkin melihat dari seseorang yang terpaksa mendapat tindakan perkosaan. Namun, Rusli menilai kehamilan bukan tindakan keterpaksaan.
Dalam hukum, ada hal yang bisa dilihat yaitu, alasan pemaaf dan pembenar. Alasan pemaaf seperti dalam keadaan terpaksa (terkena tindak kejahatan) seseorang bisa membela dirinya dengan cara apapun.
''Tapi kalau aborsi bagamiana kan ga bisa kayak begitu. Makanya, kalau ada peraturan itu, tetap perbuatan yang tidak benar. Sehingga perlu ditinjau ulang. Karena sesuatu yang terlarang tidak boleh dilegalkan,'' kata Rusli.