REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permintaan pemerintah menunda kenaikan tarif elpiji 12 kg dianggap mengajarkan untuk melanggar hukum. Pasalnya, banyak aturan yang diterabas demi penundaan perubahan tarif tersebut.
Pengamat BUMN Said Didu mengatakan, hukum yang dilanggar, yaitu, pertama UU BUMN. Pemerintah boleh memberikan instruksi atau penugasan tetapi apabila harga yang dipatok tidak layak, pemerintah harus mengganti biaya disertai penambahan margin.
Kedua, lanjut Said, UU Perseroan Terbatas. Pasalnya, tidak boleh pimpinan perusahaan berencana rugi. Ketiga, UU Pajak. Suatu pihak tidak boleh merencanakan rugi demi menghindari pajak. Keempat, sambung dia, UU Persaingan Usaha. Alasannya, tidak boleh suatu perusahaan merekayasa harga untuk menghalangi masuknya perusahaan lain.
Said berpendapat, apabila pemerintah ingin harga Elpiji tetap di bawah tarif keekonomian bisa mengubah komoditas tersebut menjadi barang subsidi. Artinya, pemerintah harus menyubsidi barang tersebut. Selain itu, kata dia, apabila Pertamina tidak mau merugi terus menerus bisa berhenti berjualan Elpiji 12 kg.
Menurut Said, pemerintah harus berhenti melakukan kegiatan pencitraan dengan mengorbankan suatu pihak. Pihak yang dirugikan pada masalah itu, yakni Pertamina. Dia berpandangan, Elpiji 12 kg tidak pantas diberikan diskon dalam penjualannya. Konsumen Elpiji tersebut mayoritas orang mampu.
Hitungannya, sambung Said, kenaikan Rp 1.000 per kg masih di bawah tarif rokok per batang, yakni Rp 1.200.