Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Tantangan dakwah di Papua tak mudah, dai harus mampu bertahan ketika difitnah, diserang, dipanah, dan ditombak.
Dua kapal kokoh menyusuri sungai-sungai di belantara pedalaman Pulau Cendrawasih. Angkutannya bukan kayu-kayu gelondongan atau barang-barang tambang. Kapal bernama Bahtera Nusantara dan Khilafah 1 ini mengangkut dai-dai Islam untuk berdakwah hingga menembus pedalaman.
Tak hanya dai, kapal-kapal dakwah ini juga mengangkut kebutuhan Muslim di pulau paling timur Indonesia itu. Bahan bangunan masjid, Alquran, perlengkapan masjid dan dakwah menjadi angkutan utama.
Tak jarang, anak-anak asli di pulau penghasil emas tersebut khusyuk menyimak bacaan ayat suci Alquran di atas kapal. Mereka menjadikan dua kapal itu sebagai madrasah berjalan. Sembari menikmati kebesaran Allah SWT di alam, dilantunkan juga ayat-ayat Alquran nan berhikmah.
Keterbatasan akses transportasi membuat kapal dakwah menjadi pengangkut paling efektif di Pulau Nuu Waar. Pulau Nuu Waar adalah nama lain dari Papua atau Irian. Konon, masyarakat di sana lebih suka tempat tinggalnya dipanggil Pulau Nuu Waar.
Menurut sejarah, Papua berasal dari kata “pua-pua” yang berarti hitam dan keriting. Mereka lebih nyaman dipanggil sebagai orang Nuu Waar karena berarti Negeri yang Menyimpan Cahaya Rahasia.
Agama pertama yang ada di Nuu Waar merupakan Islam. Islam di Nuu Waar dibawa oleh Sultan Iskandar Syah, Raja Samudra Pasai pada abad ke-13.Pertama kali Islam datang di Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat. Penjajahan menyebabkan banyak penduduk di Fak-Fak harus menyingkir ke daerah pegunungan.
Karena itulah, menurut Dewan Penasehat AFKN Kabupaten Fak Fak, Maryam Sule, kapal seperti Bahtera Nusantara dan Khilafah 1 itu sangat diperlukan. “Biasanya kapal ini digunakan untuk mendatangi kampung yang sulit dijangkau dengan darat, seperti di Distrik Kokas dan Distrik Karak, Kabupaten Fak-Fak,” ujar Maryam.