REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Presiden dan wakil presiden terpilih masih memiliki tantangan yang berat untuk mengelola arus informasi yang kian kompleks. Informasi yang kompleks tersebut di antaranya memerangi hoaks dan ujaran kebencian.
Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman, Edi Santoso, mengatakan jejaring global melalui internet telah memunculkan budaya baru. "Hakikat ruang dan makna terdekonstruksi sedemikian rupa, karena budaya baru, yaitu cyberculture, dan keterhubungan tanpa sekat tersebut juga memunculkan masalah-masalah baru, masifnya hoaks dan ujaran kebencian ada dalam arus budaya baru itu," katanya di Purwokerto, Sabtu (29/6).
Edi yang merupakan dosen Magister Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman tersebut mengatakan apabila informasi yang melimpah tersebut tidak dibarengi dengan penguatan literasi media. Pada akhirnya, hal yang dikhawatirkan adalah ada orang jahat yang membuat hoaks dan ada orang baik yang ikut menyebarkan hoaks.
"Ada kesenjangan teknologi, antara adopsi teknologi secara fisik dan kesiapan mental. Maka budaya literasi perlu ditingkatkan di tengah budaya digital tersebut," ujarnya.
Untuk itu, kata dia, pemerintah punya dua tantangan dalam hal ini. Khususnya dalam menangkal dan memerangi hoaks. "Dalam konteks struktural, pemerintah dapat membuat atau menegakkan regulasi, dan dalam konteks kultural, membangun dan mendorong literasi," imbuhnya.
Kendati demikian, dia mengakui, aspek penegakan regulasi, akan berhadapan dengan kebebasan berpendapat. "Sementara itu mendorong literasi harus mengikuti logika perubahan kultural, yakni akan memakan waktu yang lama dan harus melibatkan berbagai elemen masyarakat," ujarnya.
Menurut dia, presiden dan wakil presiden terpilih akan memiliki kebijakan yang baik dan efektif serta dapat mengakomodasi harapan-harapan berbagai pihak dalam memerangi berbagai disinformasi dan juga ujaran kebencian.