REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbedaan pendapatan masyarakat di Indonesia mendesak diselesaikan oleh pemerintah berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilaksanakan pada 27 Mei-4 Juni 2014.
Sebanyak 44,6% responden mengatakan perbedaan pendapatan adalah persoalan mendesak diselesaikan, sedangkan 38,6% mengatakan persoalan mendesak.
"Jumlah total dari keduanya adalah 83,2%, artinya delapan dari 10 penduduk Indonesia menganggap bahwa kesenjangan pendapatan adalah problem yang harus segera ditangani pemerintah," kata Direktur Eksekutif LSI, Kuskridho Ambardi.
Hal itu disampaikan, dalam acara Rilis Survei Nasional bertajuk Survei Opini Publik Persepsi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia / Inequality Perception Survey in Indonesia, di Hotel Pullman Jakarta Pusat, Senin (1/9).
Responden menilai cukup banyak cara yang dilakukan pemerintahan baru (Jokowi-JK) untuk mengurangi perbedaan pendapatan. Antara lain, penciptaan lapangan kerja, pemberian perlindungan kepada kelompok rentan, penyediaan pendidikan dan kesehatan gratis, pemberantasan korupsi, dan bantuan modal untuk usaha kecil.
Namun, ada tiga solusi yang menurut responden paling penting dilakukan pemerintah, yakni memberikan perlindungan sosial kepada kelompok miskin (31,2%), menyediakan lapangan kerja (17,5%), dan memberantas korupsi (14,3%).
Sementara itu, responden menilai langkah mengurangi perbedaan pendapatan melalui pemberian uang kepada kelompok miskin, pemerataan aset atau kenaikan pajak kelompok kaya bukanlah alternatif yang baik.
"Sikap ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih memerlukan pekerjaan, bukan belas kasihan atai iming-iming yang memanjakan. Bagi mereka, perlindungan sosial lebih tepat diberikan kepada kelompok miskin dan rentan," jelasnya.
Populasi survei tersebut adalah seluruh warga negara Indonesia yang berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Jumlah sampel 3.080 orang dengan margin of error sebesar +- 1,8% pada tingkat kepercayaan 95%.
Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang dilatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang terdiri hanya 10 responden.
Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tersebut tidak ditemukan kesalahan berarti.