REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apakah ada redundansi peran FIFA di dunia sepak bola sebagai pengawas konstan dalam hal pengaturan keuangan, penyalahgunaan dana, dan transparansi di balik proses pengambilan keputusan eksekutif? Sebab, semuanya sudah mencapai titik kritis saat ini.
Banyak ditemui kekurangan FIFA, namun untuk membuat perbaikan FIFA menuju masa depan lebih baik membutuhkan proses yang rumit dan panjang karena ekslusivitasnya.
FIFA telah mengambil tahun-tahun yang sulit untuk membentuk aliansi kuat dengan federasi sepak bola di seluru dunia. Jika FIFA dieksekusi, itu hanya akan membuat dunia sepak bola dunia amburadul.
Salah satu cara adalah menyaingi FIFA dengan organsasi yang selevel. Ini sama halnya dengan dunia tinju yang melibatkan IBF, WBF, WBC dan WBO.
Sayangnya, tidak ada organisasi yang bisa menyaingi FIFA, meskipun saat ini ada turnamen sepak bola non-FIFA berafiliasi dan sedang dijalankan oleh ConIFA (Confederation of International Football Associations), federasi yang dibentuk untuk menjadi tuan rumah turnamen dunia khusus untuk negara-negara yang tidak diakui oleh FIFA.
Sepak bola tidak bisa diseret ke air keruh karena tetap menjadi bagian integral di masyarakat. Namun, FIFA haus melihat 'keangkuhannya' yang terus menerus akan mencapai titik dimana terjadi pelanggaran penting dari perubahan di dunia olah raga.
Jadi, jika kelahiran organisasi sepak bola internasional pesaing FIFA bukanlah jawabannya, maka pertanyaan berikutnya adalah apakah sepak bola internasional adalah kebutuhan sebuah negara?
Sejumlah federasi sepak bola kini mulai serius meneliti apakah FIFA benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai yang tertanam dalam permainan, termasuk partisipasi, kesetaraan, dan keahlian.
Greg Dyke, Ketua FA Inggris, baru-baru ini membuat langkah yang belum pernah dilakukan siapapun sebelumnya. Dia heran mengapa Inggris tidak bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia selanjutnya, menyusul FIFA menetapkan Rusia dan Qatar sebagai tuan rumah untuk 2018 dan 2022. Dyke dan FA inggris kecewa dengan transparansi FIFA saat ini dalam memproses aplikasi penawaran.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana jika kelompok yang cukup besar membawa mosi tidak percaya untuk FIFA? Hanya tindakan kolektif yang bisa menyingkirkan FIFA dari banyak malpraktik yang sekarang sudah sering terlihat. Ini tentunya akan mendatangkan stres tersendiri bagi FIFA.
Sudah saatnya federasi nasional dan asosiasi sepak bola nasional menyadari bahwa merekalah yang memegang kekuasaan. Setiap tindakan harus menjadi kolektif jika terbukti efektif. Intinya adalah FIFA harus merombak praktik monopoli sektor bisnisnya jika ingin terus menjadi wadah sepak bola dunia.
Media sosial kini juga bertumbuh menjadi kekuatan dunia. Sudah saatnya FIFA bertanggung jawab atas tanda tanya moral yang dipraktikkannya dalam turnamen.
Sebab, jika berbicara Piala Dunia, seharusnya FIFA menanggalkan segala bentuk emblem FIFA, logo, dan tetek bengeknya. Ini bukan 'Piala Dunia FIFA', ini adalah 'Piala Dunia' saja.