REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Kementerian Agama mengaku telah bersikap hati-hati dalam penyusunan buku-buku agama Islam bagi siswa.
““Saya bertanggung jawab atas kekeliruan ini, makanya kita susul dengan ralat agar tidak menimbulkan gejolak lanjutan. Terutama untuk buku Sejarah Kebudayaan Islam, Fikih dan Akidah Akhlak sangat sensitif dan rawan,” kata Direktur Pendidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Nur Kholis Setiawan kepada Republika pada Rabu (17/9).
Tergolong rawan, karena ketiga mata pelajaran tersebut sarat gesekan dari kelompok pemikiran Islam masyarakat Indonesia. Mata pelajaran fiqih, menurut Nur Kholis, terkait urusan tata cara shalat dan qunut.
“Dari segi ritual, ada kelompok Islam yang berbeda pandangan soal penggunaan bacaan tertentu. Misalnya di kelompok A tidak membaca qunut dalam shalat, sedangkan di kelompok B pakai,” katanya.
Maka, yang dilakukan pemerintah dalam menyusun buku, menurutnya berada di tengah-tengah untuk mengakomodasi beragam paham mayoritas Islam. Bagaimanapun, lanjut dia, keberadaan seluruh mazhab yang ada di Indonesia mesti diapresiasi.
“Sebab hal tersebut merupakan keniscayaan dan realitas historis. Berbeda dalam berpandangan dan berpendapat, kita harus saling menghormati,” ujarnya.
Ia pun menegaskan, adanya kekeliruan dalam konten buku sehingga menyinggung kelompok tertentu, itu murni kekhilafan yang harus segera diperbaiki. Bukan sama sekali bermaksud menyinggung atau merendahkan kelompok tertentu.