REPUBLIKA.CO.ID, IRBIL -- Angkatan bersenjata Kurdi Selasa mengatakan ia mampu melenyapkan komandan militer Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) dalam pertempuran di Provinsi Ninawa, Mosul timur.
Satu sumber dari pasukan Kurdi (Peshmerga) mengatakan, pasukannya "membunuh Abu Abdullah, yang sebelumnya dikenal sebagai Abu Sumaya, seorang komandan militer ISIL (Negara Islam Irak dan Levant/ISIL) yang kemudian berganti ISIS dan kini Negara Islam (IS di Ninawa selama operasi untuk membebaskan desa di Mosul timur."
Satu sumber yang berbeda di Peshmerga mengatakan bahwa pasukan Kurdi menguasai lima desa di wilayah Khazar, barat Irbil setelah pengusiran pasukan ISIS di dalamnya, dan menambahkan bahwa operasi semacam itu dengan bantuan jet-jet tempur AS.
Sumber itu menambahkan bahwa kontrol daerah ini akan membuat lompatan strategis untuk menyediakan pasukan keamanan guna membebaskan sisa kota. (Baca: Rudal Scud 'Palsu' ISIS Tidak Jadi Serang Israel)
Sementara itu, sumber lain dari pasukan Kurdi mengatakan bahwa pengiriman senjata yang dikirim dari Prancis untuk tujuan mendukung perjuangan melawan ISIS telah tiba, menunjukkan bahwa pasukan mereka menerima pelatihan dua minggu lalu di tangan ahli Prancis dengan senjata yang diterima.
Menurut laporan Reuters dari Paris sebelumnya, pesawat tempur Prancis akan memulai pengintaian melalui udara di Irak Senin, sebelum konferensi yang diikuti sekitar 30 negara untuk membahas upaya memerangi kelompok milisi ISIS.
Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius, Senin menjelaskan hal itu sebelum menghadiri konferensi yang diikuti sekitar 30 negara untuk membahas upaya memerangi kelompok milisi IS itu.
"Kami telah mengatakan kepada pemerintah Irak bahwa kami siap dan meminta izin untuk terbang di wilayah Irak," kata Fabius kepada radio Europe 1 saat mengonfirmasi bahwa penerbangan pertama dari pangkalan militer Prancis di Abu Dhabi akan dimulai pada Senin.
Para menteri luar negeri dari negara-negara Eropa utama, lima anggota tetap dewan keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa, negara-negara tetangga Irak dan negara-negara di Teluk Arab seperti Qatar, Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab bertemu di Paris untuk membahas tentang politik, keamanan, dan upaya kemanusiaan untuk menanggulangi ISIS.
"Mereka harus melakukan intervensi cepat karena mereka terlambat," kata Presiden Irak Fouad Masoum kepada Europe 1 merujuk pada dukungan militer pada Irak.
"Jika intervensi dan dukungan kepada Irak ini terlambat maka IS akan menguasai lebih banyak wilayah dan akan menimbulkan ancaman yang lebih besar," katanya.
Para pejabat di Prancis mengatakan rencana koalisi harus berjalan lebih dari sekedar gerakan militer dan kemanusiaan, dengan alasan bahwa harus ada rencana politik apabila kekuatan ISIS nantinya sudah dilemahkan di Irak.
Mereka mengargumentasikan kasus intervensi di Irak pada tahun 2003 yang dipimpin oleh AS, dimana pihak Prancis tidak ikut serta pada saat itu, berimbas pada krisis yang saat ini terjadi di Irak karena kurang adanya visi jangka panjang untuk masyarakat Irak.