REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VII DPR menyepakati besaran subsidi listrik dalam RAPBN 2015 sebesar Rp68,69 triliun atau turun 20 persen dibandingkan APBN Perubahan 2014 sebesar Rp85,75 triliun.
Ketua Komisi VII DPR Milton Pakpahan dalam rapat kerja Komisi dengan Pelaksana Tugas Menteri ESDM Chairul Tanjung di Jakarta, Rabu (17/9), mengatakan, besaran subsidi listrik tersebut sesuai usulan pemerintah dalam Nota Keuangan RAPBN 2015.
"Kami sepakati alokasi subsidi listrik tahun depan Rp86,69 triliun dengan parameter-parameter yang ada," katanya.
Parameter subsidi tersebut adalah pertumbuhan listrik sembilan persen, penjualan listrik 216,36 Terra Watt hour (TWh), susut jaringan 8,45 persen, dan biaya pokok pengadaan (BPP) Rp1.318 per kWh atau Rp285,28 triliun.
Lalu, marjin usaha diasumsikan tujuh persen atau insentif investasi Rp19,97 triliun, BPP ditambah insentif investasi Rp305,25 triliun, dan bauran energi untuk BBM 8,53 persen.
Chairul mengatakan, dalam jangka panjang, pemerintah akan menghilangkan pemakaian BBM pembangkit.
"Termasuk di wilayah 'remote' (sulit), bukan tidak mungkin BBM-nya dihilangkan," katanya.
Menurut dia, pemerintah akan memperbanyak pembangkit berbahan bakar murah khususnya batubara.
"Kami juga akan berusaha melakukan efisiensi PLN," ujarnya.
Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman menambahkan, pada 2015, biaya pemakaian gas bumi mengalami kenaikan dikarenakan penambahan gas alam cair (LNG).
Porsi LNG, lanjutnya, mengalami kenaikan dari 18 persen pada 2014 menjadi 24 persen pada 2015.
Sementara, harga LNG berkisar 14,5 dolar per MMBTU atau lebih mahal dari gas pipa 8-9 dolar per MMBTU.
"Dampaknya, harga gas jadi naik," ujarnya.
Ia juga mengatakan, pada 2015, merupakan masa transisi perubahan skema subsidi listrik dari "cost plus margin" menjadi "performance based regulatory" (PBR).
"Pada 2016, PBR akan diterapkan secara penuh," ujarnya