REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG --Putusan pengadilan mengenai terdakwa kasus pasir besi ilegal, Martin Frederick, 'Bos' CV ASAM dianggap banyak kejanggalan. Pasalnya, pemilik tambang tersebut hanya dihukum dua bulan masa percobaan sesuai dengan tuntutan jaksa. Apalagi sidang dilakukan secara tertutup.
Prof Gede Pantja Astawa, Guru Besar hukum Universitas Padjadjaran, mengatakan bahwa, sangat aneh apabila proses persidangan berlangsung tertutup. Karena menurutnya, pengadilan yang tertutup khus untuk kasus asusila atau yang melibatkan anak dibawah umur. ''Ini //kan// bukan persoalan asusila. Patut dipertanyakan sidangnya tertutup,'' kata saat dihubungi Republika, Jumat.
Gede menambahkan, apabila proses persidangan dalam kasus ini terbukti tidak terbuka untuk umum, maka putusan pengadilan batal demi hukum. Karena seharusnya, ketika sidang akan dimulai, hakim membuka sidang dengan mengumumkan sidang tersebut terbuka untuk umum. ''Patut diduga ada yang tidak beres,'' ujarnya.
Menanggapi pernyataan wagub yang mengatakan bahwa putusan Martin tidak bisa banding, Gede mengatakan itu bahwa hal tersebut keliru. Setiap putusan pengadilan itu dapat dilakukan banding. Bahkan, orang yang sudah di vonis bebas murni pun masih bisa dilakukan banding, walaupun harus ke Mahkamah Agung.''Jadi bukan karena P21 atau karena jaksa menuntut hukuman ringa lalu tidak bisa banding,'' jelasnya.
Gede menduga, hukuman percobaan yang dijatuhkan kepada terdakwa, dianggap sebagai vonis bebas. Sehingga tidak melakukan banding. Selain itu, apabila dianggap tuntutan jaksa tidak bisa dibanding, Gede menilai itu tidak benar.''Vonis putusan pengadilan itu yang dibanding. Bukan karena tuntutan,'' paparnya.
Namun, menurut Gede, hakim tidak bisa disalahkan dalam putusan 'ringan' tersebut. Karena, kata Gede, putusan hakim tidak bisa melebihi tuntutan jaksa. Atau bisa jadi karena bukti -bukti yang ada tidak kuat. Selain itu juga saksi ahli yang dihadirkan tidak mendukung.
Namun, Lanjut Gede, kalau memang putusan tersebut masih dianggap belum memenuhi rasa keadilan. Polda atau kejaksaan bisa saja melakukan tuntutan lewat kasus lain.
''Seperti pencemaran lingkungan atau merusak lingkungan,'' sarannya. Walaupun tentu saja, lanjut Gede, putusan tersebut nantinya tergantung kepada derajat kerusakan dianggap tidak wajar.