Sabtu 11 Oct 2014 15:57 WIB

Salah Kaprah Sebutan Habib di Masyarakat

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Erik Purnama Putra
Hatta Rajasa menemui Habib Ali bin 'Abdur Rahman al-Habsyi (Habib Kwitang) di kediamannya di Jakarta Pusat, Rabu (21/5).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Hatta Rajasa menemui Habib Ali bin 'Abdur Rahman al-Habsyi (Habib Kwitang) di kediamannya di Jakarta Pusat, Rabu (21/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad Saw. di Indonesia, Rabithah Alawiyah, menilai banyak terjadi salah kaprah di masyarakat terkait sebutan habib. Ketua Umum Rabithah Alawiyah Sayyid Zen Umar bin Smith menyatakan bahwa fenomena itu perlu diluruskan.

Menurutnya, habib secara bahasa berarti keturunan Rasulullah yang dicintai. Adapun, habaib adalah kata jamak dari habib. Jadi tidak semua keturunan Rasulullah bisa disebut habib.

Keturunan Rasulullah dari Sayyidina Husein disebut sayyid, dan dari Sayyidina Hasan disebut assyarif. Hasan dan Husein merupakan putra Sayyida Fatimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib. Zen menjelaskan, di Indonesia para keturunan Rasullullah banyak yang berasal dari Husein. Maka banyak yang disebut sayyid.

Sementara keturunan-keturunan Hasan kebanyakan menjadi raja atau presiden seperti di Maroko, Jordania, dan kawasan Timur Tengah. Pertama kali ulama-ulama dari Yaman atau Hadramaut masuk ke Indonesia di beberapa daerah. Karena adanya akulturasi budaya, sebutan sayyid di Aceh berubah menjadi Said, di Sumatra Barat menjadi Sidi dan lain sebagainya.

Dia mengatakan, saat ini banyak orang yang mengaku sebagai seorang habib, padahal bukan. ‘Gelar’ habib, kata dia, tidak bisa disematkan kepada setiap sayyid. Setiap habib harus sayyid, tetapi sayyid belum tentu habib. Seorang sayyid, lanjutnya, tidak bisa mengatakan bahwa dirinya sendiri adalah habib.

Pengakuan habib harus melalui komunitas dengan berbagai persyaratan yang sudah disepakati. Di antaranya cukup matang dalam hal umur, harus memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap apapun, wara atau berhati-hati serta bertakwa kepada Allah.

Dan yang paling penting, lanjutnya, adalah akhlak yang baik. Sebab, bagaimanapun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya. Maka, kata dia, menjadi aneh jika seseorang mengaku-ngaku dirinya adalah seorang habib.

Dari proses zaman ke zaman, orang akhirnya menamakan semua keturunan sayyid menjadi habib. “Padahal seharusnya tidak,” katanya. Artinya, kata dia, dari waktu yang cukup lama orang mengatakan mana habib dan mana yang sayyid, untuk membedakan bahwa habib adalah ulama-ulama.

Zen mencontohkan, di Jakarta ada Habib Ali bin Abdurrahman Kwitang, Habib Ali bin Husein Alatas di Cikini, Habib Abdullah bin Muchsin Alatas di Bogor dan lain-lain. Menurutnya, beberapa habib itulah sedikit contoh dari yang memang benar-benar habib dalam arti yang sebenarnya.

Seiring berjalannya waktu, lanjutnya, penyebutan habib terjadi degradasi kualitas. Panggilan habib lebih dijadikan sebagai panggilan keakraban atau panggilan kekerabatan. Sementara di sisi lain, banyak kalangan dari sayyid sendiri maupun dari kalangan habib sendiri ingin menggunakan gelar habib untuk dakwah.

“Tapi, akhirnya melenceng, mereka mentitelkan dirinya sendiri,” katanya kepada Republika saat ditemui di kantornya, Sabtu (11/10).

Saat ini, kata Zen, di seluruh dunia kurang lebih ada sekitar 68 qobilah (marga) dari keturunan Rasulullah, termasuk di Indonesia. Hanya saja, Rabithah Alawiyah masih melakukan proses pendataan secara detail berapa jumlah keturunan Nabi Muhammad yang ada di Indonesia.

“Jumlah persis kita belum tahu. Tapi estimasi kasar sekitar 1-1,5 juta orang dan saat ini proses verifikasi,” ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement