REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia tidak setuju melatih pasukan Irak seperti yang diusulkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dalam satu wawancara televisi Sabtu (25/10).
"Tidak ada persetujuan bahwa kami akan mengirim para instruktur untuk melatih tentara di Irak," kata Lavrov kepada stasiun televisi Rossiya-1.
Setelah satu pertemuan dengan Lavrov di Paris pada 14 Oktober, Kerry mengatakan bahwa diplomat-diplomat penting itu "sepakat untuk menjajaki apakah Rusia dapat berbuat lebih banyak untuk mendukung Pasukan Keamanan Irak".
Kerry mengatakan Lavrov mengakui "kesediaan Rusia untuk membantu menyangkut senjata-senjata dan juga kemungkinan pelatihan dan aspek-aspek nasehat".
Lavrov mengulangi bantahan dia sebelumnya bahwa Rusia setuju dengan Amerika Serikat untuk berbagi informasi intelijen menyangkut kelompok IS (Islamic State/ISIS).
"Tidak ada persetujuan bahwa kami akan bertukar informasi dalam konteks kegiatan-kegiatan apa yang disebut koalisi yang dibentuk Amerika Serikat untuk memerangi kelompok IS itu," kata Lavrov.
Lavrov mengatakan ia mengemukakan kepada Kerry: "Jika anda ingin bekerja sama dengan kami, jangan dilakukan berdasarkan satu dasar selektif, tetapi sebagai bagian dari mekanisme-mekanisme yang disetujui." Ia memberikan contoh Komisi Kepresiden Bilateral AS-Rusia yang dibentuk tahun 2009 untuk meningkatkan hubungan antara kedua negara, yang kegiatan-kegiatan terhenti.
Penolakan Rusia seperti pembagian informasi intelijen seperti itu bertentangan dengan Kerry, yang pada 14 Oktober mengatakan ia dan Lavrov telah sepakat "untuk meningkatkan kerja sama intelijen dan tantangan-tantangan kontra-terorisme lainnya".
Presiden Rusia Vladimir Putin dalam satu pidato penting dihadapan para ahli Rusia dan wartawan Jumat mengecam keras tindakan-tindakan AS di Irak, dengan mengatakan para mantan tentara dalam angkatan darat Saddam Hussein bergabung dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang kini berganti nama IS dan "sangat aktif dari sudut pandang militer.
Putin juga berbicara tentang satu "perubahan dalam tata dunia", dengan mengatakan dunia tidak lagi "satu kutub, tidak ada lagi penguasa tunggal. Kendatipun AS merasa mereka dapat menguasai dunia, itu tidak mungkin".