REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Aziz
Alkisah ketika mengajarkan surah al-Ma’uun dan meminta para santri mengulang-ulang surah tersebut, Kiai Ahmad Dahlan ditanya perihal mengapa surat itu saja yang dibaca dan diulang.
Mendengar pertanyaan tersebut, Kiai Dahlan balik bertanya, “Apakah kalian sudah paham surat ini? Apakah kalian sudah mempraktikkannya?”
Kyai Dahlan lantas meminta murid-muridnya untuk mencari orang paling miskin yang bisa ditemui di masyarakat, kemudian memandikannya dan menyuapinya.
Kisah ini mengajarkan bahwa Alquran tidak hanya dibaca untuk penghias kesalehan pribadi, tapi juga dipraktikan dalam amal sosial.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, surah al-Ma’un ini berbicara mengenai keharusan adanya kaitan antara amal ritual dan amal sosial dalam beragama. Jika ditelisik lebih jauh, Alquran lebih banyak menekankan amal sosial daripada amal ritual.
Pertama, kalau kita kembali kepada ciri-ciri orang mukmin atau orang bertakwa, ditemukan di situ ibadah ritualnya satu, tetapi ibadah sosialnya banyak.
Misalnya, berbahagialah orang-orang yang beriman yaitu orang yang khusyuk dalam shalatnya (dimensi ritual); yang mengeluarkan zakat (dimensi sosial); orang yang berpaling dari hal-hal yang tidak bermanfaat (dimensi sosial); dan mereka yang memelihara kehormatannya kecuali kepada istrinya (dimensi sosial).
Anehnya kita sering mengukur orang takwa dari ritualnya ketimbang sosialnya. Kedua, kalau ibadah itu ibadah ritual dan kebetulan pekerjaan itu bersamaan dengan pekerjaan yang lain yang mengandung dimensi sosial, kita diberi pelajaran mendahulukan yang sosial.
Misalnya, Nabi SAW pernah melarang membaca surah yang panjang-panjang di dalam shalat berjamaah. Nabi pernah memperpanjang waktu sujudnya hanya karena di pundaknya ada cucunya di situ. Dalam sebuah riwayat, bahkan hal tersebut dilakukan ketika nabi sedang shalat sunah.
Ketiga, kalau ibadah ritual kita bercacat, kita dianjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial. Misalnya, ritual puasa. Kalau kita melanggar larangan puasa maka salah satu tebusannya adalah memberi makan kepada fakir miskin. Juga ritual haji, kalau terkena dam, kita harus menyembelih binatang dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
Sebaliknya, kalau ada cacat dalam ibadah dimensi sosial maka amal ibadah ritual tidak bisa dijadikan sebagai tebusan ibadah sosial itu. Misalnya, kalau kebetulan kita berbuat zalim terhadap tetangga maka kezaliman itu tidak bisa dihapuskan dengan shalat malam selama sekian malam.
Banyak keterangan malah mengatakan orang yang shalatnya baik atau ibadah mahdhahnya baik tetapi kemudian amalnya jelek secara sosial maka Allah SWT tidak menerima seluruh amalan ibadah mahdhahnya tersebut.
Seperti pernah seseorang datang kepada Rasulullah SAW yang mengadukan ada seseorang yang puasa tiap hari dan shalat malam dengan rajin, tetapi dia menyakiti tetangga dengan lidahnya. Apa kata Rasulullah SAW? “Perempuan itu di neraka,” sabdanya.
Dengan demikian, perlulah kiranya kita memahami ibadah ritual apa pun dalam Islam pasti tujuannya ialah bukan untuk menambah kas pahala individu belaka, tapi juga untuk bederma bakti membantu manusia dan kemanusiaan. Wallahu A’lam.