Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Haji berasal dari akar kata haja-hajwan, berarti bermaksud, mengunjungi, menyengaja, mendorong, mendiami.
Dari akar kata ini haji dimaknai sebagai kegiatan ibadah dengan cara mengunjungi Baitullah dan tempat-tempat tertentu sebagaimana dituntunkan Rasulullah SAW.
Haji secara populer diartikan sebagai rukun Islam kelima yang wajib dilakukan seorang Muslim dan Muslimah yang memenuhi berbagai syarat sebagaimana ditetapkan oleh syariah.
Ibadah haji ialah melakukan ritual di tempat-tempat tertentu, yakni Baitullah, tempat Sa’yi (mas’a), Muzdalifah, Mina, dan Arafah dalam waktu yang telah ditentukan, yaitu bulan Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah.
Amal ritual yang dilakukan, yakni tawaf mengelilingi Ka’bah, melaksanakan sai, yaitu berjalan bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan melontar jumrah di Jamarat, serta mabit di Mina.
Sedangkan umrah diawali dengan mengambil miqat di daerah yang telah ditentukan, kemudian berturut-turut bertawaf di Ka’bah, perjalanan bolak-balik di medan Sa’yi, dan melakukannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan di dalam syari’ah.
Syarat pelaksanaan ibadah haji terdiri atas syarat sah dan syarat wajib haji meliputi beragama Islam, dewasa atau akil baligh, waras (tidak gila), merdeka (bukan budak), dan mampu melaksanakan ibadah haji (istithaah).
Makna istithaah ialah mampu secara jasmani dan rohani, memiliki kemampuan ekonomi, baik biaya ONH maupun biaya untuk keluarga yang akan ditinggalkan, dan tidak terdapat hal-hal yang bersifat mudharat, seperti gangguan keamanan di sepanjang perjalanan.
Akan lebih bagus jika seorang jamaah haji perempuan atau orang-orang masalah lainnya didampingi oleh muhrim atau orang yang dapat dipercaya.