REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Bagi Negara dengan karakter civil society yang kuat seperti Indonesia, penerapan sistem demokrasi tidak terlalu dipermasalahkan bahkan dapat dengan mulus diterapkan.
Namun, bagi negara kebalikan, di mana terdapat sistem kekuasaan kerajaan mengakar membuat penerapan demokrasi menjadi tidak mudah.
“Ada hal yang bersifat ideologis, ekonomis, yang bisa menjadi penghambat penerapan demokratisasi di Timur Tengah,” kata Direktur International Conference of Islamic Scholars (ICIS) M Nashihin Hasan kepada Republika di sela acara Seminar Internasional Bertajuk Konflik dan Proses Demokratisasi di Timur Tengah yang diselenggarakan ICIS di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok pada Kamis (30/10).
Sebagai pihak penyelenggara, ia mengungkapkan, penghambat lainnya ialah dugaan bahwa demokratisasi adalah suatu komponen asing untuk menguasai sumber daya alam di Timur Tengah.
Inilah yang kemudian menurutnya menimbulkan dampak ideologis sehingga timbul kelompok-kelompok penghadang demokratisasi, “Misalnya penyebar paham khilafah, ikhwanul muslimin dan macam-macam lagi,” ungkapnya.
Maka dari itulah, dengan mengundang para tokoh ulama se-Indonesia, para aktivis keagamaan serta undangan dari unsur pemerintah dan pemuka agama Negara timur tengah khususnya Irak, Maroko, Syiria dan Mesir, untuk menunjukkan betapa baiknya proses demokrasi berjalan di Indonesia, di tengah masyarakat mayoritas Muslim yang beragam etnisnya, keyakinannya, bahasanya, dan banyak ragam lainnya.
Seminar juga ingin menemukan titik solusi atas konflik Sunni-Syiah yang terjadi di Timur Tengah diawali dengan menganalisis akar masalah langsung dari sumbernya.
Sebab, Indonesia berkepentingan mengawal Demokrasi dunia di tengah situasi global saat ini. Terlebih, ada beberapa kelompok yang makin memperkuat diri dalam menggencarkan aksi terorismenya.