REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik antara dua koalisi besar di DPR turut menjadi perhatian Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshidiqie. Jimly mengatakan, munculnya DPR tandingan tidak perlu dianggap sebagai masalah serius.
"Saran saya, DPR tandingan jangan dianggap serius. Itu ekspresi kemarahan yang bisa dimengerti, ekspresi itu terlampiaskan dalam bentuk tandingan," kata Jimly di kantor DKPP, Jakarta, Kamis (30/10).
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia itu menilai, pembelahan kekuatan politik menjadi dua faksi seperti saat ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah Indonesia. Pembelahan kekuatan politik menjadi dua kubu besar itu menurutnya sebenarnya bagus. Lantaran terjadi penyederhanaan pandangan masyarakat Indonesia yang masih didominasi pluralisme.
Namun, pengelolaan kekuatan politik yang tidak tepat menurutnya bisa memicu konflik politik. Apalagi jika kedua kubu terlalu menikmati konflik tersebut dan melupakan kepentingan masyarakat yang memilih mereka saat pemilihan umum lalu.
"Harapan kita semua parpol pascapemilu harus konsolidasi internal semuanya. Move on gitu loh," ujar Jimly.
Pembentukan DPR tandingan, dinilai Jimly sangat mengkhawatirkan. Sebab, bisa ditangkap vulgar oleh masyarakat. Terlebih konflik tersebut berlanjut pada pemilihan alat kelengkapan di DPR. Padahal masyarakat memilih anggota dewan untuk bekerja dengan baik, bukan saling menjatuhkan.
Karena itu, Jimly berharap komunikasi dan silaturrahim politik yang telah dilakukan elit parpol bisa ditularkan kepada level menengah partai. Pertemuan Presiden Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, dan tokoh-tokoh Koalisi Merah Putih seperti Prabowo Subianto, Hatta Rajasa dan tokoh lainnya sebaiknya ditiru. Oleh para pelaku politik dari kedua belah pihak yang saat ini menduduki DPR.
"Kita semua punya tanggung jawab moral supaya saling mendengar. Pak Jokowi, Pak JK juga perlu mengingatkan yang di bawahnya untuk berdiskusi dan saling mendengarkan," kata dia.