REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengaku kurang puas dengan isi dari undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH) No 33 tahun 2014. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan komisi VIII DPR RI.
Ia mengatakan undang-undang ini bukan berisi penguatan terhadap peraturan yang selama ini telah dibuat MUI. Melainkan membuat alur birokrasi dalam melakukan sertfikasi halal menjadi panjang.
Ia menjelaskan, dalam melakukan sertifikasi halal MUI menggunakan prinsip better, easier dan faster. Namun dalam UU ini bukan penguatan terhadap prinsip MUI seperti tentang pengawasan, penindakan dan labelisasi yang dicantumkan. Melainkan merombak alur sertifikasi dengan melakukan beberapa penambahan.
"Kita tidak puas atau Kita belum puas sepenuhnya. Undang-undang ini lebih pada terjadi perubahan alur sertifikasi halal dan penggembosan terhadap MUI," ujar Lukmanul Hakim kepada Republika, Senin (10/11).
Ia juga mengatakan, undang-undang ini juga menyebutkan bahwa penetapan standar halal bukan lagi dari MUI melainkan oleh badan yang akan dibentuk DPR. Hal ini membuat kewenangan tidak lagi ada di MUI.
"Penetapan standar bukan lagi MUI tetapi oleh badan kan memang badan itu dari MUI tapi kewenangan tidak lagi di MUI," katanya.
MUI juga merasa isi undang-undang ini mengintervensi MUI. Hal tersebut dikarenakan untuk komisi fatwa MUI harus ada keterlibatan instansi pemerintah dan ilmuwan. Selain itu, dalam undang-undang menyebutkan agar Lembaga Pemerikasa Halal (LPH) dibuka baik dari pemerintah maupun perguruan tinggi negeri dan swasta.
Namun, ia menambahkan disisi lain UU JPH memliki kelebihan karena ada kepastian hukum terkait produk halal yang berdar di Indonesia dan akan ada sanksi untuk pelanggran. "Ada sisi positif yang kita apresiasi tapi ada juga sisi yang tidak terpuaskan. Kalau dari sisi alur ada perubahan birokrasi tapi fungsi LPPOM MUI tidak berubah. Fungsi kerja tidak berubah tapi kewenangannya," ujarnya.