REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan keterlibatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) dalam mengelola potensi zakat dan wakaf yaitu mengintegritasikan antara lembaga keuangan syariah dengan gerakan zakat dan wakaf yang ada. Hal tersebut agar pengelolaan dan penggunaan zakat dapat dilakukan secara profesional sehingga mampu mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh bendahara MUI, Muhamad Nadratuzzaman Hosen. Menurutnya, peran OJK dan BI memang belum bisa dirasakan dalam mengelola potensi zakat karena penandatanganan kerjasama baru dilakukan pada tanggal 3 november lalu. Namun, untuk lembaga zakat seperti domoet dhuafa sudah memulai oprasi syariah zakat sebelum keterlibatan OJK dan BI.
"OJK dan BI isinya kan orang-orang keuangan sehingga pengelolaan dan penggunanaan zakat Lebih profesional dan modern," ujar Muhamad Nadratuzzaman Hosen saat dihubungi Republika, Rabu (12/11).
Menurutnya, potensi zakat yang ada di Indonesia sebesar 217 triliun rupiah. Dengan keterlibatan OJK dan BI maka potensi tersebut bisa diproduktifkan oleh ahli keuangan syariah untuk mendorong lembaga zakat dan wakaf. Sehingga tidak menggangu dana APBN untuk mengurangi kemiskinan.
Ia juga mengatakan, kerjasama ini diharapkan juga mampu membuat pembayaran zakat terintegritasi dengan pajak. "Jadi ketika orang membayar pajak bukan hanya mendapat NPWP tapi juga mendapatkan nomor pokok wajib zakat atau NPWZ, sehingga kepatuhan terhadap negara dan agama dijalankan," ujarnya.
Ia menambahkan, agar good goverment dapat berjalan dengan transparan dan penuh tanggung jawab maka lembaga zakat yang ada harus memiliki sertifikat dan akreditasi. Sehingga dapat mendorong masyarakat untuk membayar zakat serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat dan wakaf. Selain itu agar potensi zakat yang ada dapat memberdayakan ekonomi umat dan mengurangi kemiskinan.
"Zakat itu harusnya sebagai social capital, social enginering, dan social enterprenuership," katanya.