REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR – Pemerintah Indonesia dinilai lamban dalam memberikan kepastian hukum bagi terpidana mati kasus narkoba asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Politikus Partai Golkar Aziz Syamsudin mendorong pemerintah memberikan kepastian hukum bagi keduanya.
Ketidakpastian hukum di Indonesia dinilainya hanya membebani negara. "Jika tidak (diberi grasi), harus segera dieksekusi oleh jaksa agung karena jika tidak hanya akan membebani pemerintah." kata Aziz kepada wartawan seusai melakukan kunjungan ke Lapas Kerobokan, Denpasar, dilansir the Courier Mail pada akhir pekan kemarin.
Ia mengatakan, selama ini Indonesia menghabiskan anggaran Rp 5 triliun per tahun untuk memberi makan para tahanan. Kondisi itu diperparah dengan rumah tahanan Indonesia yang terlalu penuh. Di Lapas Kerobokan, misalnya, terdapat 877 narapidana dengan kapasitas penjara sebanyak 323 orang. Dari jumlah itu, 60 penghuni berkewarganegaraan asing dari 23 negara, enam tercatat berkewarganegaraan Australia.
Chan dan Sukumaran adalah dua dari tiga terpidana mati di Lapas Kerobokan. Pemerintah Australia mengajukan grasi bagi kedua orang ini sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, permintaan itu tak pernah dikabulkan SBY.
Kini, nasib kedua terpidana yang dihukum karena menyelundupkan heroin ini tergantung pada pemerintahan Jokowi-JK. Jokowi sendiri disebut akan meminta pertimbangan Menteri Hukum dan HAM yang baru,
Yasonna Hamonangan Laoly.
Sementara, menteri baru ini mengatakan masih dilema. Secara pribadi, Yassona disebut mendukung penghapusan hukuman mati, namun ia juga menghormati keputusan pengadilan yang telah diberikan kepada Chan dan Sukumaran.
Media Australia baru-baru ini gencar memberitakan kembali permohonan grasi bagi Chan dan Sukumaran. Keduanya dikatakan telah banyak berubah setelah dipenjara. Chan disebut memberikan pelajaran agama bagi para tahanan, sementara Sukumaran banyak bergerak di bidang seni. Saat bertemu wartawan, Sukumaran memohon kesempatan kedua kepada Presiden Jokowi.