REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebutuhan pelabuhan pengumpul (hub port) di Tanah Air, semakin terasa. Setiap tahun, Selat Malaka menjadi jalur transportasi laut dengan kapasitas hingga 51 juta TEUs (Twenty Foot Equivalent Unit).
TEUs merupakan satuan ukuran muatan kegiatan bongkar-muat barang menggunakan peti kemas. Pelabuhan pengumpul Malaysia hanya mampu melayani 10 juta dan Singapura 31,6 juta TEUs. Berarti, ada sekitar 10 juta TEUs yang tak mampu terakomodasi.
Direktur utama Pelindo I Bambang Eka Cahyana mengungkapkan, saat ini Indonesia ingin mengambil peran yang lebih besar dalam jalur perdagangan laut dunia. Antara lain, dengan pengembangan kawasan pelabuhan terintegrasi di Kuala Tanjung, Kabupaten Batubara, Sumatra Utara.
Kawasan itu, kata dia, akan menjadi pelabuhan pengumpul dengan kemampuan memfasilitasi kapal-kapal ultra large container vessel (ULCV). Kapal ULCV adalah kapal berkapasitas 18.270 TEUs dan membutuhkan kedalaman minimal minus 14,5 meter di bawah permukaan laut untuk bersandar.
Selain itu, juga lengkap dengan sarana penyimpanan, pemberian label, hingga residensi bagi para pekerja. "Proyek ini rencananya akan mulai digarap pada pekan kedua Februari 2015," ujar Bambang dalam keterangannya.
Rencananya, lanjut dia, tahap pertama proyek ini akan berjalan selama lebih kurang 18 bulan. Diperkirakan, rencana pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung akan memakan biaya sebesar Rp 6 triliun.
Disebutkan, pandangan umum yang memandang laut sebatas wisata, minyak, ikan, dan terumbu karang pun harus segera diubah. "Laut adalah sarana transportasi dagang paling murah di dunia," ujar Direktur PT Terminal Petikemas Indonesia (TPI), Abadi Sembiring.
Laut, kata dia, berkontribusi terhadap lebih dari 90 persen angkutan barang antarnegara. Sedangkan, angkutan darat hanya berkontribusi sekitar 10 persen dan angkutan udara hampir tidak berkontribusi sama sekali. Karenanya rencana pembangunan pelabuhan Kuala Tanjung disebut akan membawa dampak signifikan bagi Indonesia.
Menurut Abadi, di dalam negeri kehadiran pelabuhan itu akan mengoptimalkan perdagangan dari enam terminal kontainer yang selama ini dikenal sebagai Pendulum Nusantara. Kuala Tanjung akan menjadi pelabuhan pengumpul untuk barang yang dibawa dari Sorong, Makassar, Tanjung Perak, Tanjung Priok, Batam, dan Belawan.
Sehingga, komoditi yang akan keluar masuk Indonesia tak perlu lagi membongkar muatannya di Pelabuhan Klang Malaysia atau PSA Singapura. Dampaknya bagi perekonomian adalah harga bongkar-muat yang selama ini dibebankan ke konsumen akhir akan semakin kecil.