REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar mengatakan, kembali terjadinya gesekan antara anggota TNI dan Polri dikarenakan penyelesaian masalah yang tidak serius. Berdasarkan pengamatannya terhadap kasus-kasus yang lalu, penyelesaian yang ada cenderung seperti sandiwara.
"Cara penyelesaiannya yang saya lihat cenderung tidak fair. Kedua pihak harus mengakui jika anak buahnya salah dan tindak tegas secara hukum," kata Bambang kepada Republika, Rabu (19/11).
Bambang mengatakan, jika tindakan yang dilakukan oleh oknum TNI maupun Polri mengandung unsur pidana, maka oknum tersebut harus ditindak tegas secara hukum. Siapa pun yang salah, lanjutnya, harus ditindak dan tidak boleh pandang bulu. Penegakkan hukum pun harus dilakukan secara konsisten.
"Tapi kalau dibuat semacam sandiwara yang seakan ditutupi, ya ini jadinya oknum-oknum tersebut merasa 'ah kalau saya melakukan sesuatu lagi, dari atasan begitu', seperti merasa dilindungi. Akhirnya tidak selesai-selesai," ujarnya.
Ia pun menegaskan, jiwa korsa atau esprit de corp yang berlebihan justru malah akan membuat kekeliruan. Apalagi, jika sampai melanggar hukum atas nama jiwa korsa.
"Ini negara hukum bukan negara jiwa korsa. Hukum yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak. Polisi harus menjunjung karena dia penegak hukum, tentara pun harus menjunjung hukum jangan mengutamakan jiwa korsanya. Kalau jiwa korsanya begini terus, ya nggak akan habis-habis," jelasnya.
Ia pun mengimbau anggota TNI dan Polri untuk lebih terbuka, berwawasan luas, dan bepikir objektif.
"Nalarnya digunakan, jangan sempit jiwa korsanya. Mereka itu contoh teladan, Polri dan TNI, tunjukkan pada masyarakat sipil. Jangan diberi contoh bisa mempermainkan hukum," kata Bambang.