REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ritual seks di Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah geger setelah diungkap oleh wartawan asing Patrick Abboud. Diberitakan Patrick bahwa ritual tersebut berasal dari kisah seorang pangeran yang berselingkuh dengan ibu tirinya dan melarikan ke Gunung Kemukus.
Antropolog Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Soehada mengatakan ritual tersebut merupakan fenomena budaya terkait dengan tiga unsur sistem keyakinan sekaligus yaitu, Jawa, Hindu-Buddha dan Islam. Di gunung tersebut terdapat makam Pangeran Samudro.
Ritual seks di Gunung Kemukus sering menjadi objek penelitian Soehada yang juga alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) itu beberapa tahun lalu. Menurutnya, terdapat tiga versi tentang kisah pangeran Samudro.
Diantara tiga versi tersebut yaitu pangeran Samudro merupakan seorang muallaf yang kemudian diajak ke Demak oleh ibunya Dewi Roro Ondo. Pangeran Samudro merupakan keturunan Raja Majapahit yang terakhir yang sangat dicintai ibunya. Dewi kemudian menyuruh kepada pengeran Samudro untuk berguru ke seorang ulama di Gunung Lawu.
Seusai berguru, kata Soehada, pangeran Samudro pulang ke Demak. Namun, sampai di daerah Sumberlawang di daerah gunung kemukus dan menyebarkan agama Islam sampai meninggal di sana. Mengetahui anaknya meninggal, ibunya menyusul ke Gunung Kemukus.
“Makanya ia disebut sebagai Da’i Islam di situ,” kata Soehada saat dihubungi Republika Online, Kamis (20/11). Kemudian, versi selanjutnya mengenai pangeran Samudro, yaitu cerita yang berkembang bahwa di Gunung Kemukus terdapat satu makam namun di dalamnya terdapat pangeran Samudro dan ibunya.
Namun, kata Soehada, dalam versi kedua terdapat penggeseran makna tentang istilah Demenan (sangat sayang). Orang Jawa menggap demenan yang dilakukan oleh Dewi Roro kepada Pangeran Samudro merupakan ritual seks yang harus diakukan di makam pangeran Samudro jika cita-cinya ingin tercapai.
Karena itu, menurut Soehada, terdapat tiga tipe peziarah di makam pangeran Samudro yaitu orang yang benar-benar berziarah. Kemudian, peziarah dengan mempercayai harus melakukan ritual seks karena mitos yang dibangun. Selain itu, peziarah yang merupakan petualang seks.
Sebab, lanjut Soehada, sejak tahun 80-90 an di Gunung Kemukus sudah banyak bilik untuk kepentingan seks. Sehingga, pekerja seks komersial sangat marak. Sekitar tahun 80-an juga, lanjut Soehada, daerah tersebut kemudian diambil pengelolaannya oleh pemerintah daerah.